Seorang anak laki-laki
berusia 7 tahun menggandeng tangan ayahnya, mereka baru pulang dari pasar.
Sepanjang perjalanan mereka membicarakan makan malam apa yang akan dibuat oleh
ibunya. Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari samping mereka. Mereka menoleh,
seseorang dengan pakaian hitam berteriak menyuruh mereka menyingkir. Si anak
laki-laki kebingungan, sang ayah langsung menyadari apa yang terjadi. Mereka
terperangkap dalam baku tembak dua pihak yang saling bermusuhan, Hamas dan
Israel. Suara tembakan terus meletus, sang ayah yang panik menarik anaknya dan
dirinya bersembunyi di balik tempat sampah. Ia berteriak meminta dua pihak itu
berhenti. Satu pihak meminta gencatan senjata sementara, satu pihak lagi melanggar
gencatan senjata tersebut dan menganggapnya sebagai keuntungan. Mereka menembaki
lawan mereka yang tak bisa mengangkat senjata, memuntahkan seluruh peluru
mereka, termasuk kepada anak laki-laki itu. Sang ayah yang memegang tubuh anak
laki-lakinya yang kini terbaring kaku dalam dekapannya, hanya bisa meratap.
Beberapa hari kemudian, berita itu sampai ke telinga dunia internasional.
Muhammad Al-Durra, nama anak itu. Peluru yang bersarang di dadanya dipercaya
milik Israel.
Sejak masih
kecil saya selalu disuguhi kisah-kisah perjuangan penduduk Palestina. Dari
tontonan, bacaan, semuanya selalu berbumbu hal-hal diatas. Saya yang masih
berusia sepuluh tahun berkata, “kasian sekali mereka.” Saya yang berusia tiga
belas tahun berkata, “dasar Israel jahat! Semoga masuk neraka!” dan saya yang
dua puluh tahun, mahasiswa HI, berkata, “Dunia itu anarki. Semua bisa menjadi
korban bagi kepentingan politik beberapa pihak.” Tapi hal tersebut tak
menjadikan saya kehilangan keyakinan saya, bahwa meskipun dunia itu anarki,
tindakan yang melukai hak-hak orang yang tak bersalah itu benar.
Saya masuk HI
karena keyakinan tersebut, keyakinan yang tadinya hanya mengawang dalam empati
saya terhadap mereka, kemudian menohok saya ketika mendengar seorang ibu paruh
baya yang rumahnya baru digusur berteriak kepada kameramen yang merekamnya, “Katanya
kita itu bersaudara! Katanya kita bagaikan satu tubuh, satu tersakiti dan semua
merasakan sakitnya! Tapi dimana kalian saat kami kehilangan suami dan anak-anak
kami? Dimana kalian saat kami kehilangan tempat tinggal dan harta kami?”
Ibu itu
berteriak pada saya.
Apa yang saya
lakukan disini, hanya menonton, berempati dan marah-marah tak jelas dan tak
berefek. Saya sadar bahwa tak bisa selalu menyalahkan Israel atau siapapun yang
bertindak sebagai orang jahat dalam tontonan tersebut. Perjanjian Camp David,
Pemutusan boikot minyak, dan apapun yang mendukung diteruskannya penindasan
tersebut melibatkan egoisme dan keserakahan orang-orang yang seharusnya
menolong ibu tersebut. Dan saya tahu tujuan saya, saya harus melakukan sesuatu
untuk menolong mereka. Kewajiban yang datang dengan bersamaan dengan keyakinan
tersebut. Bukan hanya menjadi orang yang menonton, dan merasa kasihan. Namun
menjadi seseorang yang memiliki pengaruh dan bisa berkontribusi baik meskipun hanya
sedikit sebelum saya mati. Saya percaya bahwa menolong mereka adalah kewajiban
bagi saya, bagi orang lain, bagi semuanya. Sekali lagi karena itu saya masuk
HI, mencari cara dan solusi, untuk melakukan sesuatu, bagi mereka.
No comments:
Post a Comment