Achieving the Dream Alongside of You

Monday, September 27, 2010


©©©
Lyla masuk ke kamarnya dan melihat Gwen sedang mengobrol dengan Nick.
“Nick? Sedang apa kau disini?” tanya Lyla.
“Oh, aku akan menginap disini menggantikan Dylan,” jelas Nick.
“Lho? Memangnya Dylan kemana?”
Nick mengangkat bahu, “Entahlah. Tadi Seiji menghampiriku dan memintaku menggantikan Dylan dulu. Katanya Dylan sedang sibuk.”
Lyla manggut-manggut. Dalam hatinya ia sedikit kecewa, tapi ia berusaha menepis perasaan itu.
©©©
Dylan sedang di kamar Nick dan Rifki. Ia tidur di kasur Nick dengan punggung memunggungi Rifki. Rifki belum tidur. Ia masih melihat langit-langit kamar. Dylan juga sebenarnya belum tidur. Mana bisa ia tidur, sementara hatinya sedang kacau balau.
Rifki juga tahu Dylan belum tidur. Meski Dylan sudah menyembunyikannya sedemikian rupa, mengatur irama nafas, posisi tidur yang nyaman, juga tak bergerak dalam waktu yang cukup lama, tapi Rifki, seorang mata-mata yang diwajibkan waspada 24 jam sehari bisa mengetahuinya dengan mudah.
Tak ada suara diantara mereka, hanya hening. Kecanggungan karena sifat yang bersamaan, sama-sama dingin, membuat suasana kamar lebih dingin daripada es di kutub utara.
Rifki mengingat kejadian barusan. Ia tersenyum, teringat dirinya sendiri. Dylan mengalami hal yang hampir sama dengannya. Bedanya jika Dylan dimainkan oleh takdir, ia justru hampir kehilangan gadis yang ia cintai karena dirinya sendiri. Karena pekerjaannya sebagai mata-mata yang sangat berbahaya.
“Sebaiknya kau jangan lama-lama bersikap terlalu kekanak-kanakkan seperti ini...” ujar Rifki membuka percakapan.
Dylan tersadar tapi tak mau bicara. Ia masih bertahan dalam posisi pura-pura tidurnya.
“Aku juga pernah mengalami hal yang sama, hampir menyelakakan gadis yang aku cintai, dua kali. Ketika aku sadar, apapun itu masalahnya, aku menyesal karena tak menyadarinya lebih dulu,” tambah Rifki, ia tersenyum tipis melirik Dylan, “Kau juga kan. Apa kau lupa, Lyla masih tak tahu. Berpura-puralah tak terjadi apa-apa, maka semua akan baik-baik saja. Hal yang menyakitkan lupakan saja. Biar bagaimana pun, Lyla masih harus kau lindungi dan kau jaga. Jika kau berkonsentrasi pada masa lalumu, maka kau takkan siap menghadapi masa depanmu yang tak terduga.”
Dylan memejamkan matanya. Ia mendengar apa yang dikatakan oleh Rifki. Ia mencerna semuanya. Tapi hatinya masih terlalu sakit untuk menerimanya. Untuk pertama kalinya, ia benci kenyataan dan fakta.
©©©
Ada yang aneh pada sikap Dylan keesokan harinya di mata Lyla. Seharian ini ia tak bertemu dengan Dylan. Dylan bahkan tak masuk sekolah. Lyla sampai harus mengarang alasan sibuk untuk absensi Dylan. Gurunya percaya saja. Lagipula mungkin ia tak sekedar mengarang. Mungkin Dylan memang benar-benar sedang sibuk.
Maka ia mencari Dylan kemana-mana. Ke perpustakaan, tak ada, ke kamarnya Nick, tak ada, ke basenya Seiji juga tak ada. Lia sampai menyerah. Dan ia merasakan perutnya mulai berisik minta diisi.
Lia berjalan ke cafetaria, bareng Nick yang beralasan pengen ke tempat yang sama. Lia sebenarnya curiga pada Nick yang mengikutinya terus seperti stalker, Nick juga mengikutinya saat ia ke Perpustakaan, katanya ada buku yang harus dipinjam, ke kamar Nick, katanya ada barang yang ingin diambil, dia juga ikut Lyla ke basenya Seiji, katanya ada urusan. Karena seijinya gak ada, Nick ikut Lyla ke cafetaria. Lyla sebenarnya sih gak keberatan, tapi Nick pasti ada maksud lain kan?
Di cafetaria, Lyla menangkap sosok yang ia cari dari tadi sedang makan. Dia menghembuskan nafas kesal dan menghampirinya.
“Hei, kenapa tidak masuk tadi?” tanya Lyla yang langsung duduk disamping Dylan.
Dylan terlihat kaget. Ia menengok sebentar dan melanjutkan makannya tanpa bicara.
Seiji juga ada disitu, ia tersenyum menyapa Lyla, “Hai Lyla. Tadi Dylan sedang ada urusan penting denganku makanya dia tidak masuk dulu.”
“Aku sampai harus mengarang alasan didepan guru agar kau tidak dihukum, setidaknya bilang-bilang dulu!” omel Lyla.
Dylan tak menjawab. Ia menyelesaikan makannya dan buru-buru bangkit.
Lyla melihat Dylan sudah berdiri dan mau pergi, bingung. Ia menahan Dylan dengan memegangi ujung seragamnya, “Kau ini kenapa? Aku kan sedang bicara denganmu!”
Dylan menarik nafas berat, ia menatap Lyla sebentar dengan tatapan yang sulit dijelaskan, kemudian dengan dingin ia menepis tangan Lyla. Lalu pergi dari cafetaria.
Lyla terlihat bingung, ia menatap Nick yang mengangkat bahu kemudian beralih Seiji yang tersenyum canggung, “Ada apa dengannya sih?”
©©©
Dylan duduk sendirian di kamarnya. Ia membuka-buka buku yang dpinjamnya dari perpustakaan dulu saat berdua dengan Lyla. Buku alumni.
Dia sedang memandangi wajah ayahnya di buku alumni. Jika tidak tertera nama Jhonny McMillan dibawah foto ayahnya itu ia pasti sudah mengira kalau ia salah foto. Wajah yang ada di fotonya itu tidak mirip wajah Dad yang dikenalnya. Di foto itu Dad terlihat culun, berbeda dengan image keren yang Dylan tahu selama ini.
Ia teringat Mom berkata kalau Mom tergila-gila pada Dad saat kuliah. Mungkin saat itu Dad berubah menjadi orang keren, dari orang cupu yang ada di foto SMA-nya.
Kemudian kata-kata Rifki terngiang-ngiang di telinganya, Jika kau berkonsentrasi pada masa lalumu, maka kau takkan siap menghadapi masa depanmu yang tak terduga.
Dylan mendesah. Ia menjatuhkan bukunya ke kasur.
©©©
Sudah lewat tiga hari Dylan tak masuk sekolah. Lyla sebenarnya khawatir Dylan sakit, tapi Seiji meyakinkan kalau Dylan baik-baik saja hanya sibuk. Lyla menggerutu, sibuk apa sih dia?! Kan dia tetap murid sekolah ini, harusnya yang dipikirkannya cuma sekolah bukan kerjaan.
Sekarang Lyla curiga kalau Dylan sengaja menghindarinya. Setiap ia tak melihat latihan drama, Gwen bilang kalau Dylan datang ke latihan. Tapi saat ia ikut ngintip latihan drama, entah kenapa Dylan selalu tak datang.
Saat sibuk menggerutu dalam hati, seseorang menaruh buku-bukunya di bangku samping Lyla. Lyla tersentak kaget. Dylan?
Salah, rupanya yang duduk di bangku Dylan saat ini bukan Dylan, melainkan Larry.
“Ha... hai... ly... Lyla...” sapa Larry dengan terbata-bata dan tersenyum.
“Larry? Kenapa duduk disini?” tanya Lyla bingung.
“A.. aku disuruh pin... pindah oleh dy... Dylan...” jelas Larry.
Lyla menengok ke arah bangku Larry yang lama dan melihat cowok yang sedari tadi mengganggu pikirannya duduk disana. Ia merengut, benar kan dugaanku! Dia sengaja menghindariku, awas kau!
Lyla berdiri dan menghampiri Dylan. Seperti kemarin-kemarin, Dylan hanya menatap Lyla dingin kemudian mengacuhkan Lyla lagi.
Lyla mulai tak sabar, “Aku mau bicara.”
“Bicara saja,” ujar Dylan pelan.
“Kemana saja kau selama ini, tak masuk kelas...”
“Sibuk,” lagi-lagi Dylan menjawab singkat.
“Apa kesalahanku?” tanya Lyla tiba-tiba.
Dylan menatap Lyla lagi dengan ekspresi yang aneh. Sedikit terlihat kaget, tapi sisanya wajahnya begitu datar, “Salah apa?”
“Kesalahanku. Kamu sengaja menghindariku kan?” tanya Lyla lagi.
Dylan menunduk, membuka halaman buku yang dibacanya, “Tak ada.”
“Kalau begitu jawab, kenapa tiba-tiba kau suruh Nick menginap di kamarku? Kenapa kau suruh Larry pindah ke sampingku?”
Dylan tak ingin menjawabnya. Ia langsung berdiri berniat meninggalkan kelas. Tapi Lyla menahan ujung kemejanya.
“Jangan begini...” ujar Lyla pelan terlihat sangat sedih, “Aku lebih suka kamu memarahiku dan membentakku... apa kesalahanku begitu besar?”
Yang punya kesalahan besar itu aku Lyla, aku, Mom, dan Dad! Kesalahan kami terlalu besar sehingga membuatku tak sanggup menemuimu, batin Dylan. Dengan dingin Dylan menepis tangan Lyla, dan keluar dari kelas.
©©©
“Hai,” sapa Nick yang langsung duduk di samping bangku Lyla yang sedang makan siang di Cafetaria.
“Hai...” jawab Lyla lesu.
“Hari ini kamu ada acara?” tanya Nick.
Lyla mengingat-ingat, “Ehmm... sebentar lagi ada latihan drama. Aku harus datang untuk mengoreksi naskah...”
Nick langsung cemberut, “Yah, padahal aku ingin mengajakmu jalan-jalan...”
Jalan-jalan? Ah benar juga, kurasa aku perlu jalan-jalan untuk menyegarkan pikiranku sedikit. Aku tak bisa terus-menerus memikirkan Dylan si bodoh itu...
“Besok aku bebas. Aku juga ingin jalan-jalan. Kemana kamu akan mengajakku?” tanya Lyla antusias.
“Bagaimana kalau Carlisle Beach? Angin pantai di pagi hari akan enak sekali rasanya...” tawar Nick.
Lyla tersenyum senang dan mengangguk, “Boleh!”
©©©
Latihan drama berlangsung. Lyla datang ditemani oleh Nick. Mereka menonton pentas drama yang dimainkan, yang mengambil kisah Jack The Ripper. Pembunuh berantai dari London. Meski sudah direncanakan tema cerita itu dari jauh-jauh hari, sungguh ironis jika dimainkan sekarang oleh murid-murid Convinient High School yang terancam oleh pembunuh yang sama gilanya atau bahkan lebih gila dari Jack The Ripper.
Saat Lyla sedang asyik menelaah naskah, ia dikejutkan oleh kedatangan seorang cowok yang membawa banyak kertas-kertas arsip dan kelihatan lelah. Dylan.
“Ah... Dylan, nak, sungguh aku senang sekali kamu datang hari ini...” seru Mrs. Linda, “Kau tahu kan peranmu sebagai Inspektur Frans adalah peran utama? Kami tak bisa latihan tanpamu!”
“Ah ya... aku tahu...” sahut Dylan malas. Untuk sesaat pandangan matanya dan pandangan mata Lyla sempat bertemu. Tapi Lyla lebih dulu membuang muka. Dylan cuma bisa menghela nafas.
“Lihat ini. Hari ini akan banyak sekali scene-scene yang dilatih, semakin menumpuk jika kau tak datang...” Mrs. Linda menunjukkan script Dylan.
“Bagaimana kalau langsung kita mulai dan selesaikan semua ini?” tanya Dylan kesal. Ia benar-benar letih. Seharian ia habis diforsir kerja untuk mencari sedikit petunjuk mengenai kasus ini. Nihil.
“Baik... baik... Henry! Bersiaplah! Kita akan melatih scene 16!” teriak Mrs. Linda.
“Okay Mam...” sahut Henry yang berperan sebagai asistennya Inspektur Frans.
Latihan scene 16 dimulai. Dylan mengendurkan dasinya dan naik ke atas
Inspektur Frans alias Dylan mendekati mayat Elizabeth dan membungkuk untuk melihat lebih dekat. Henry yang berperan sebagai asistennya mengikuti Dylan.
“Jadi bagaimana, Sir? Apakah mungkin ini dilakukan oleh penjahat gila? Ini sudah mayat ke-tiga minggu ini...” ujar Henry.
“Gila, ya, tapi terpelajar,” sahut Dylan yang sudah menjelma menjadi inspektur Frans.
“Terpelajar? Penjahatnya adalah orang terpelajar?” tanya henry heran.
“Ya, lihat saja sayatan luka di perut ini. Begitu rapih, dan bahkan tak ada darah tercecer. Padahal dilihat dari waktu kematiannya, gadis ini dibunuh malam hari. Dan di tempat ini tak ada penerangan sedikitpun. Namun, penjahatnya begitu lihai menjahit luka ini tanpa kesalahan di tempat yang gelap seperti ini. Kemungkinan dia adalah seorang ahli bedah, paling tidak tukang jagal...” jelas Dylan cepat.
“Be... begitu... Jadi apa yang akan kau lakukan, sir?” tanya Henry yang tergagap dan berusaha mengimprovisasi dialognya sebisa mungkin. Kenapa? Karena Dylan tak mengikuti dialog di skrip sedikitpun.
“Kita harus membawa mayat ini ke bagian forensik. Jahitannya di perut, kemungkinan ada organ dalam mayat ini yang diambil. Kita harus segera memeriksanya,” jawab Dylan.
“Ba... baik...” Henry berpaling ke arah teman-temannya yang berperan sebagai para polisi London, “Kalian dengar itu? Cepat... ehm... bawa mayat ini ke bagian forensik dan... amankan TKP!”
“Baik!” sahut teman-temannya.
“CUT!” teriak Mrs. Linda, “Dylan kau sudah bagus, bagus sekali nak, dan Henry! Apa-apaan sikapmu yang kaku itu! Kau tidak bisa berakting jelek seperti itu! Pentasnya tinggal beberapa hari lagi!”
Henry melotot. Sementara Dylan cuma mendesah malas menanggapi pujian dari Mrs. Linda.
Henry yang kesal berjalan menuju Lyla dan Nick. Ia membanting naskah dialognya kemeja, sambil menggerutu, “Apa-apaan itu! Dia tidak mengikuti dialognya sedikitpun! Aku harus berimprovisasi mati-matian supaya nyambung!”
Lyla tertawa kecil, “Dia tidak mengikuti dialog. Dia hanya menyebut analisis yang dibacanya dari novel Jack The Ripper, dulu saat masih kecil.”
“Kalau saat pentas dia begitu lagi, aku akan mundur dari drama!” sergah Henry yang masih kesal setengah mati.
“Sabar...” bujuk Lyla.
“Kurasa kau perlu baca novel itu juga, Henry,” saran Nick yang tersenyum geli.
Henry cuman merengut kesal.
“Berikutnya scene 24! Gwen, bersiaplah!” teriak Mrs. Linda.
DEG! Lyla mencelos. Scene 24? Itu kan scene dimana Dylan dan Gwen...
“Uhm... Mam, bisa tidak kita melatih scene itu besok?” pinta Gwen yang sudah hafal naskah. Ia langsung merasa tak enak pada Lyla yang sedang menonton.
“Tidak bisa! Sekarang kita memanfaatkan waktu yang ada, mumpung Dylan sedang hadir hari ini...” tegas Mrs. Linda.
Gwen memandang Dylan tajam, cowok bodoh! Kau tak memikirkan perasaan Lyla apa?!
Dylan yang menyadari tatapan Gwen buru-buru membuka naskahnya untuk pertama kali. Scene 24? Scene yang mana? Ia mendelik begitu mendapati adegan di scene tersebut. Hahh?! Ini kan...
“Ayo mulai... mulai... cepat!” perintah Mrs. Linda.
Dylan naik ke atas panggung dengan pahit. Ia bisa memanfaatkan adegan ini agar Lyla menjauh darinya. Ia langsung menarik tangan Gwen agar segera juga naik panggung, memainkan adegan mereka.
Adegan dimana Inspektur Frans yang dimainkan Dylan, dan Mary Ann yang dimainkan Gwen, berciuman.
Latihan berlangsung. Lyla hanya bisa menonton adegan itu dengan mata nanar. Dia yang menulis adegan itu, dia juga yang meminta Dylan memerankannya, jadi meski hatinya terasa sakit sekali saat ini, dia harus menerimanya.
Nick menepuk bahu Lyla lembut. Lyla yang seolah baru tersadar dari hipnotis menengok ke arah Nick.
Nick sempat kaget melihat air mata Lyla yang keluar tiba-tiba, tapi ia berusaha tersenyum, “Kita pergi dari sini yuk?”
Dylan mengusap bibirnya. Ia melihat ke tempat Lyla, dan ternyata Lyla sudah tak ada. Baguslah... gumamnya dalam hati.
Sementara Gwen juga melakukan hal yang sama, tapi ia tak berani melihat ke arah Lyla. Gwen cuma jongkok dan mengusap mukanya frustasi, ah... dasar bego-bego-bego!

Wednesday, September 22, 2010

©©©
Sejak saat itu Dylan mengalami lebih banyak kesibukan. Menyelidiki kasus, menjaga Lyla, sekarang ditambah ikutan pentas drama.
“Arrrgghhh... apa sih yang ada dipikirannya! Kalau aku ikutan pentas drama siapa yang akan menjaganya?!” gerutu Dylan sambil memasang muka jutek ketika makan siang.
“Sabar, kau sendiri kan yang mutusin buat tak memberitahu Lyla, bahwa dia yang akan jadi korban berikutnya, jadi terimalah konsekuensinya...” ujar Seiji sambil menepuk bahu Dylan, “Soal Lyla, biar aku saja yang menjaganya.”
“Kau kan menangani kasus, kalau aku latihan drama bodoh itu dan kau menjaga Lyla, siapa yang akan mengurusi kasus?” tanya Dylan kelihatan frustasi dan kurang tidur.
“Ya sudah, biar Rifki yang akan menjaga Lyla, dia selalu melakukan tugasnya dengan baik. Percayalah...”
“Mana anak itu sekarang?” tanya Dylan lagi.
“Maksudmu Nick?”
Dylan mengangguk malas.
“Dia sedang rapat dengan pengurus sekolah. Ada kemungkinan sekolah ini akan ditutup...”
“Baguslah, semoga Kepala Sekolah keras kepala itu menyadari kebodohannya dengan membiarkan muridnya belajar di lingkungan berbahaya seperti ini,” sahut Dylan.
Seiji cuma manggut-manggut.
“Eh, tunggu, kalau Ketua Murid payah itu sedang rapat, sekarang Lyla bersama siapa?!” seru Dylan panik.
“Ada Rifki yang sekarang mengawasinya, tenang sajalah. Jangan cemas gitu. Kau butuh istirahat kurasa,” saran Seiji.
“Mana bisa? Ingat kita masih ada kerjaan lagi, memeriksa riwayat Lyla. Kalau kita tahu riwayatnya mungkin kita bisa mendapatkan sedikit petunjuk siapa orang gila yang sudah mengincar nyawanya...”
“Yah, dari sedikit petunjuk yang kita punya,” tambah Seiji lesu.
©©©
Seiji dan Dylan duduk di hadapan komputer. Seperti biasa, Dylan selalu bersemangat ketikat berhadapan dengan komputer dan segala tetek bengeknya.
Mereka membuka situs rahasia FBI dan memeriksa arsip-arsipnya.
“Lyla kan datang ke rumahmu sepuluh tahun yang lalu, berarti kita cari arsip sepuluh tahun lalu...” saran Seiji yang mengalah untuk diam dan menonton kerjaan Dylan.
“Iya, aku tahu!” sergah Dylan sebal. Ia menuju arsip sepuluh tahun yang lalu dan menuliskan nama Lyla William.
Ada beberapa arsip kasus yang muncul.
“Kita pilih yang mana?” tanya Seiji.
“Cari yang berdekatan dengan tanggal kedatangannya di rumahku, 15 Desember,” ujar Dylan antusias, “Ini dia tanggal 12 Desember. Sebuah keluarga dibantai oleh orang tak dikenal.”
“Apa yang itu?”
“Mungkin, Lyla tak pernah menyebutkan siapa keluarganya, mungkin mereka semua sudah meninggal,” ucap Dylan dengan sedikit perasaan bersalah. Ia membuka arsip itu.
Seiji mulai membacanya, “Keluarga William, yang terkenal kaya raya dibantai oleh seseorang yang tak dikenal. Albert William meninggal karena ditembak pistol, begitu pula putranya Kevin William yang ditemukan tak jauh dari rumah mereka tewas terkapar dengan peluru bersarang di punggungnya...”
“Iya, ini pasti arsip kasus Lyla. Lyla selalu menggigau dan menyebut-nyebut nama Kevin dalam tidurnya. Kupikir siapa, ternyata kakaknya,” sela Dylan miris.
“Seluruh keluarga itu terbunuh di dalam rumah besar keluarga William yang lalu terbakar. Sepertinya pemicu kebakaran itu adalah bensin yang disiramkan dimulai dari dapur, menjalar hingga ruang tamu. Hampir tak ada yang selamat kecuali putri bungsu keluarga William yang bernama Lyla William. Lyla William ditemukan di dekat tubuh kakaknya Kevin William, tak jauh dari rumah mereka. Pelaku pembantaian juga tewas dalam peristiwa kebakaran tersebut. Sepertinya ia bunuh diri menggunakan pistol lebih dulu. Karena tubuhnya hangus terbakar, identitasnya tak diketahui. Hanya tersisa sebuah topi yang hampir terbakar seluruhnya dengan inisial J.”
“Coba kita liat arsip foto-fotonya,” ujar Dylan penasaran. Ia lalu membuka arsip foto-foto kasus itu.
Ada foto rumah Lyla yang megah dan kini tinggal puing, foto masing-masing keluarga William, dan juga setelah menjadi mayatnya. Foto Kevin, kakaknya Lyla. Juga foto yang paling bikin Dylan merasa menjadi orang paling berdosa karena selalu menjahati Lyla, foto Lyla yang sedang digendong oleh polisi setelah ditemukan, dengan pandangan mata kosong dan wajah pucat.
Kemudian mereka melihat foto-foto pelaku pembantaian. Ketika melihat mayat pelaku pembakaran beserta foto topinya, Dylan membeku.
“Dylan, hei, kenapa kau berhenti di satu foto ini? Apa ada sesuatu?”
Dylan tak menjawab. Ia masih memandang layar komputer kelihatannya shock.
“Dylan...” panggil Seiji.
“J, topi itu...” Dylan berusaha bicara.
“Apa? Aku tak mengerti!”
Dylan bergetar hebat, “Inisial J, itu topi... topi baseball... milikku... Inisial J... Inisial ayahku... J, Jhonny McMillan...”
©©©
Seiji sedang menyandar di dinding kelas. Disampingnya ada Rifki yang sedang balik ke identitas asalnya, maksudnya sedang tidak menyamar. Mereka berdua sama-sama sedang memperhatikan Dylan yang sedang menelepon ibunya.
“Katakan padaku... jelaskan padaku semuanya Mom!” bentak Dylan di telepon.
Dari balik telepon terdengar suara isak tangis Mom, “Jadi... kamu sudah tahu...?”
“Jadi ini sebabnya! Kenapa hidupku hancur berantakan karena Lyla, karena kita berhutang padanya! Karena Dad membunuh seluruh keluarganya! Iya?!”
“Dylan...”
“Lyla kehilangan seluruh keluarganya, ibunya, ayahnya, kakaknya, karena Dad?” Dylan mulai menangis, “Apa Mom pikir, dengan menampungnya dirumah itu cukup untuk menebus kesalahan Mom dan Dad?! Tidak Mom, takkan pernah...”
“Maaf... maaf...”
“Takkan pernah Mom...” desis Dylan. Seiji bisa melihat partnernya sekarang sangat rapuh, ia bahkan gemetaran. Perasaannya campur aduk, marah, kecewa, sedih, sakit hati. Bahkan Seiji tahu Dylan mencintai Lyla, pasti sangat menyakitkan.
“Saat itu... saat itu ayahmu merencanakan sesuatu dengan pria asing... Mom hanya mendengar ayahmu menyebutkan tentang balas dendam dengan William... Mom tak tahu kalau ayahmu akan melakukan itu... membunuh... Mom tak tahu... maafkan Mom, sayang, maaf...”
“Percuma Mom... apa Mom tak pernah memikirkan perasaan Lyla jika dia tahu... perasaan Dylan...?”
“Sayang...”
Dylan mematikan hapenya.
“Aaaarghhhh!!!” teriaknya kencang sambil membanting hapenya ke lantai, hingga hancur berkeping-keping. Mengambil meja dan kursi kelas, melemparnya ke arah yang tak beraturan. Mengamuk sejadi-jadinya, lalu terduduk lemas, dan menangis.
Seiji memejamkan mata. Rifki memandang langit-langit. Tak ada gunanya berusaha sok menghibur Dylan. Mulai sekarang, takkan mudah.
Seiji sedang keliling TKP ketika Dylan datang dengan wajah kusut. Ia sudah menebak apa yang terjadi, namun memilih untuk menanyakannya saja.
“Bagaimana rekamannya? Siapa yang terekam? Apa kau kenal?” tanyanya bertubi-tubi kemudian menambahkan sambil nyengir, “Gagal ya, rekamanmu itu?”
Dylan cuma menghembuskan nafas kesal.
“Apa pelakunya juga menemukan kamera mini yang kau pasang lalu merusaknya? Atau menutupnya dengan kain hitam?”
“Entahlah,” ujar Dylan yang mulai kelihatan putus asa, “Rekaman itu aneh. Kameraku tidak rusak sama sekali tapi ketika sosok pelaku akan terlihat sedikit lagi, gambarnya rusak.”
“Kok bisa?” Seiji ikut-ikutan heran.
“Aku tak tahu!” seru Dylan kesal, “Anggap saja proyek rekamanku gagal. Sekarang aku mau tahu, apa petunjuk yang sudah kau temukan.”
Seiji menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, kebiasaannya sejak SMA, “Itu dia! Aku tak menemukan apapun. Bahkan kertas yang biasanya ditulis si pelaku untuk menyebutkan siapa korban berikutnya saja tidak kutemukan. Mungkin dia tak mau rencananya kita halangi, seperti kita yang sempat menyelamatkan Nicole atau mungkin dia sudah berhenti.”
“Meskipun dia sudah berhenti membunuh, aku tetap akan menemukan dan menangkapnya,” ujar Dylan tegas. Ia memegang cangkir yang diminum Nicole ketika ia diracun.
“Kalium sianida,” jelas Seiji, “Sepertinya dimasukkan ke dalam tehnya Nicole.”
Dylan melihat-lihat cangkir itu lalu membalikkannya. Ia tersenyum menang.
“Lihat ini,” tunjuk Dylan pada Seiji. Ia memperlihatkan tulisan di pantat cangkir, “Aku yakin tulisan aneh ini bukan berarti made in korea. Bacalah!”
Seiji buru-buru mengambil cangkir itu dan membaca tulisan di belakangnya. Tak lama kemudian wajahnya berubah. Ia terlihat pucat dan kaget. Bahkan jauh lebih kaget dibandingkan saat membaca nama Nicole dulu. Dylan jadi sangat penasaran.
“Siapa?” tanya Dylan, “Apa yang tertulis disitu Seiji?”
Seiji masih menatap cangkir itu, “Ehm, Dylan, kurasa sebaiknya kau nanti saja kuberitahu. Aku perlu bicara denganmu sebentar.”
“Jangan basa-basi! Katakan saja!” perintah Dylan makin tak sabar.
Seiji hanya diam sambil menatap Dylan dengan aneh.
Dylan berdecak kesal. Dengan sigap diambilnya cangkir itu lalu dibawanya pergi.
“Dylan! Hei! Mau kemana kau?!”  seru Seiji yang langsung mengejar Dylan, “Dylan! Itu barang bukti! Jangan dibawa meninggalkan TKP!”
“Di tempat ini bukan kau saja yang mengerti tulisan Korea. Jika kau tak mau memberitahu, biar aku tanya pada Lyla,” ujar Dylan yang mempercepat langkahnya.
Seiji melotot, wajahnya makin pucat, “Jangan! Jangan Lyla!”
Dylan tak menggubris. Ia menyusuri koridor sekolah dengan langkah cepat tanpa bisa disusul oleh Seiji. Seiji berusaha sebisa mungkin mengejarnya sambil menggerutu, bocah ini sebenarnya makan apa sih?!
Tiba-tiba langkah Dylan berhenti pintu cafetaria.
“Dylan...” panggil Seiji.
Tapi mata Dylan terpaku pada seorang pria yang sedang duduk di bangku cafetaria sambil makan puding. Pria berkacamata itu terlihat biasa saja, sama seperti murid lainnya, tapi mata tajam Dylan mengenalnya. Dengan langkah sigap ia menghampiri pemuda itu.
Dylan duduk di depannya.
“Kau bisa membongkar penyamaranku,” ujar pria itu dingin. Matanya masih berkonsentrasi pada puding di depannya.
“Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku,” ujar Dylan.
Pria itu menatap Dylan lama, kemudian menatap Seiji yang menggeleng-geleng panik.
“Apa?”
“Kau mata-mata, profesimu mengharuskanmu untuk menguasai berbagai bahasa...” kata Dylan lagi, ia menunjukkan cangkir yang dibawanya dan memperlihatkan tulisan di balik cangkir itu, “Bacakan untukku.”
Pria itu, alias Rifki yang sedang menyamar menjadi murid meraih cangkir dan membaca tulisannya, “Ini nama orang...”
“Ya, siapa?” tanya Dylan lagi.
Seiji berusah mencegah Rifki bicara, tapi tangan Dylan menghalanginya.
“Lyla William.”
©©©
Lyla sedang berjalan menyusuri koridor sekolah sendirian. Malam-malam. Ia habis menyelesaikan tugas dari guru Seni buat pentas drama klasik minggu depan. Dan ia banyak sekali dapat kritikan, membuatnya harus bertahan di kantor guru itu sampai jam 08.00 malam.
Koridor sekolah jam segini memang sangat sepi, apalagi dengan penerangan yang terbatas, kesan menyeramkan juga ikut muncul. Lyla mempercepat jalannya. Ia tak mau bertemu pembunuh yang masih berkeliaran di sekolah jam segini.
Saat tinggal dua belokan lagi menuju kamar ia melihat seseorang. Orang yang aneh. Lyla merasa tak mengenalnya. Ia menyipitkan matanya untuk mengenali orang itu. Jarak mereka berdua cukup jauh, dan Lyla berdiri di tempat yang gelap. Sedangkan orang itu berdiri di bawah lampu penerangan yang temaram. Mata Lyla yang kini bisa melihat dengan cukup jelas menangkap itu bayangan seorang pria dengan wajah luka bakar. Lyla mengernyit, tidak ada yang memiliki luka bakar seperti itu di sekolahnya. Apa mungkin guru Kimia, Mr. Timothy? Biasanya dia suka bereksperimen dengan cairan-cairannya yang sering meledak dan melukai wajahnya sendiri. Ya, mungkin itu Mr. Timothy. Tapi Lyla merasa ada sesuatu yang familiar dari wajah itu.
Pria terduga Mr. Timothy itu berjalan dan belok ke lorong sebelah kanan. Lyla ingin mengikutinya namun ada yang menghentikannya. Seseorang menepuk pundaknya. Lyla bergidik. Ia langsung menoleh kebelakang.
“Gwen?!” pekik Lyla pelan begitu tau siapa yang sudah mengagetkannya. Tak ayal ia menghembuskan nafas lega, “Ffiuhh... kau ini. Kukira siapa.”
Gwen tersenyum dan menampakkan barisan gigi putihnya, “Lyla, kau kemana saja. Habis makan malam kau langsung menghilang. Aku khawatir tahu.”
“Ah, aku habis dari ruangan Mrs. Linda buat mengerjakan tugas naskah drama...”
“Oh ya, benar, naskah drama itu, aku ingin membacanya dong...” pinta Gwen sambil berjalan kembali ke kamar, diikuti Lyla.
“Tidak bisa. Masih banyak yang harus direvisi, bagianmu juga,” jelas Lyla. Ia lalu teringat pria yang baru dilihatnya tadi, “Uhm... Gwen...”
“Ya?”
“Apa belakangan ini ada murid yang terluka bakar di bagian wajahnya?” tanya Lyla.
Gwen menatap Lyla bingung sambil berpikir, “Kurasa tak ada.”
“Tak ada? Apa guru? Mr. Timothy?”
“Aku baru saja menemui Mr. Timothy, dia baik-baik saja Lyla...”
Lalu yang kutemui itu siapa? Batin Lyla.
“Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan itu?” Gwen balik bertanya melihat wajah Lyla yang serius.
Lyla menggeleng dan tersenyum pada Gwen, “Ah, tidak ada apa-apa. Hanya pikiranku sedikit kacau tadi.”
Gwen tampaknya tidak curiga sama sekali. Mereka beruda berjalan menuju kamar mereka, kemudian melihat pemandangan aneh disana.
Dylan, Nick, dan Seiji menunggu dengan gusar di depan kamar mereka berdua. Lyla dan Gwen saling berpandangan bingung.
“Darimana saja hah?!” bentak Dylan begitu Lyla tiba. Membuat Lyla takut.
“Sabar Dylan,” ucap Seiji.
“A... aku habis dari ruangannya Mrs. Linda. Ada tugas...” ujar Lyla terbata-bata.
Dylan tak bisa menahan emosinya, “Kau tahu, ini malam! Dan kau seorang perempuan yang tak bisa apa-apa malah jalan-jalan di koridor sekolah dimana pembunuh gila lagi berkeliaran. Kemanakan akal sehatmu?!”
Lyla mengkerut. Ia tak pernah dibentak seperti itu sebelumnya oleh Dylan, bahkan saat ia merusakkan komputer Dylan saat kecil, Dylan tak pernah semarah ini.
“Hei! Apa kau tak pernah diajari cara berbicara yang sopan oleh orang tuamu?!” seru Gwen tak terima Lyla di marahi.
Dylan melotot pada Gwen dengan menyeramkan, Gwen membalasnya tak kalah seram.
“Sudahlah Gwen, tak apa...” bujuk Lyla.
“Tak apa apanya! Kau tak boleh terus-menerus pasrah dimarahi seperti  itu Lyla,” omel Gwen, “Dia tak punya hak memarahimu, itu semua hak mu kan mau jalan kemana saja dan kapan saja! Jangan biarkan dia terus-menerus mengaturmu!”
“Kau tak tahu apa-apa!” bentak Dylan pada Gwen.
“Sudahlah Dylan,” pinta Seiji yang melihat Dylan sudah mendekati Gwen dengan tampang galak. Ia menghalanginya. Kemudian menatap Lyla dengan pandangan cemas, “Kata-kata Dylan ada benarnya Lyla, sama sekali tak bijak keluar kamar begini malam. Sekarang keadaan semakin tak aman.”
“Tapi dia kan ada tugas...” bela Gwen.
“Meski ada tugaspun, tetap tak boleh. Kami akan memberitahu semua guru-guru agar tak ada yang memberi tugas lewat sore. Sehabis jam makan malam, semua siswa harus kembali ke asramanya masing-masing. Termasuk kamu juga Lyla,” tegas Seiji, “Kita sudah melakukan yang terbaik buat keamanan sekolah ini, jadi jangan beri pembunuh itu kesempatan, paham?”
Lyla mengangguk pelan, tak berani menatap Dylan.
“Masuk kamar sekarang,” ujar Dylan dingin.
Lyla buru-buru masuk kamar, disusul Gwen. Tapi mereka melihat sesuatu yang tak biasa.
“Kasur siapa ini?” tanya Gwen melihat sebuah kasur terhampar di bawah dekat ranjangnya dan ranjang Lyla.
“Mulai sekarang aku akan tinggal disini,” kata Dylan.
©©©
Flashback...
“Jadi apa yang akan kamu lakukan?” tanya Seiji pada Dylan yang sedang stress berat sehabis mengetahui tulisan yang tertera di cangkir, “Sekarang kau sudah tahu, Lyla calon korban berikutnya. Kuharap kau akan melakukan sesuatu yang pintar dan bijaksana.”
“Aku tak tahu...” gumam Dylan pelan. Ia memegangi kepalanya kemudian berseru frustasi, “Arrghhh... Sial! Lama-lama aku bisa gila!”
“Baik, kita akan mulai memikirkannya secara perlahan-lahan. Pertama, motif, buat apa dia mengincar Lyla?”
“Ya, buat apa?” tanya Nick yang ikut nimbrung. Dia mendengar dari Rifki bahwa yang diincar berikutnya adalah Lyla, makanya dia menghampiri Dylan dan Seiji.
“Entahlah, ketiga korban, Terry, Peter, Nicole, semuanya adalah anak populer. Mereka bahkan sempat terlibat cinta segitiga, jadi kupikir ini pasti akan jadi salah satu motif yang bagus. Tapi Lyla, dia hanya orang biasa yang sering di bullying oleh ketiganya. Ya, Lyla korban bullying mereka bertiga, namun tak ikut terlibat dalam cinta segitiga mereka bukan?” simpul Dylan.
“Tentu saja tidak,” ujar Nick.
“Oke, motif pembunuh itu mengincar Lyla apa?” tanya Seiji, “Gadis innocent seperti Lyla tampaknya takkan pernah melukai orang sampai menyebabkan orang itu dendam begitu dalam. Apa Lyla pernah melakukan suatu kesalahan Nick?”
Nick menggeleng, “Tidak pernah.”
“Dylan, apa dulu Lyla di rumahmu pernah menyebabkan seseorang terluka atau melakukan suatu kesalahan besar?”
“Gadis ceroboh seperti dia? Mungkin pernah?” cetus Dylan iseng.
“Benarkah?” seru Nick tak percaya.
“Tidak, aku hanya bercanda. Dia memang ceroboh, dan sering membuat jengkel, tapi tak pernah sampai begitu parah hingga menyebabkan orang ingin membunuhnya,” ujar Dylan pelan, tiba-tiba ia teringat sesuatu, “Ah aku tahu! Siapa orang yang kemungkinan besar sangat marah padanya dan ingin membunuhnya!”
“Siapa?” tanya Nick dan Seiji tegang.
Dylan tersenyum nakal, “Aku. Siapa lagi yang sudah dihancurkan hidupnya sedemikian rupa oleh gadis ceroboh itu hingga bisa menyimpan dendam kesumat selain aku?”
“Kau ini! Aku pikir kau akan serius,” gerutu Seiji. Kemudian giliran Seiji yang teringat sesuatu, “Ah, tunggu. Dulu kau bilang padaku bahwa asal-usul Lyla tak jelas bukan? Apa mungkin ini ada hubungannya dengan masa lalunya Lyla?”
“Mungkin. Sebaiknya kita memeriksanya nanti...”
“Baik, sekarang kita akan membahas masalah Lyla, apa kau akan memberitahunya Dylan?” tanya Seiji.
Dylan diam saja. Seiji berpaling pada Nick.
“Kau saja Nick.”
Nick memandang Seiji dengan pandangan memelas, “Aku diminta olehmu untuk memberitahu Nicole bahwa dia calon korban berikutnya dan sekarang dia sedang sekarat. Teganya kau menyuruhku melakukan hal yang sama pada Lyla.”
Seiji mendesah, “Ah kalian berdua sama payahnya. Ya sudah biar aku saja.”
“JANGAN!” seru Dylan dan Nick bersamaan.
“Lalu?” tanya Seiji tak sabar.
“Kurasa percuma saja. Kita sudah memberitahu Nicole, dan melindunginya dengan keamanan tingkat tinggi, dan kecolongan. Kalaupun Lyla diberitahu, kurasa takkan berpengaruh apa-apa.”
“Jadi bagaimana Lyla bisa selamat sementara kemungkinan sekarang dia sedang berjalan-jalan sendirian di koridor sekolah sementara orang gila sedang mengincar nyawanya saat ini...”
Dylan menghela nafas berat, “Biar aku yang akan melindunginya dengan tanganku sendiri.”
©©©
“Apa? Tak mau! Tak boleh... kau... Ni Bu Yao!” sergah Gwen tak terima dengan berbagai bahasa bercampur-campur.
“Terserah, kalau kau tak mau, kau bisa keluar dari kamar ini...” ujar Dylan enteng.
Gwen membelalak kaget, “Apa?! Dan membiarkanmu berduaan dengan Lyla?! Tidak, tuan, harusnya kau yang keluar dari kamar kami!”
“Aku bisa melakukan apapun, aku punya otoritas, ingat?” ujar Dylan lagi sambil tersenyum jahat.
“Cowok mesum!” rutuk Gwen kesal.
Dylan cuek saja. Lyla cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah Dylan. Ugh, aku pasti sedang sial banget sekarang.
©©©
Sejak saat itu Dylan selalu mengikuti kemana Lyla pergi, jika dia sibuk, maka Seiji akan menemani Lyla. Jika Seiji dan Dylan keduanya sibuk, maka Nick yang akan menemani Lyla. Dan jika ketiganya benar-benar sibuk, maka Rifki akan mendapatkan tugas diam-diam mengawasi Lyla. Tugas yang sangat mudah buat Rifki, tapi juga sangat menjengkelkan karena terlalu mudahnya. Yang penting Lyla jangan sampai dibiarkan satu detik pun sendirian.
Sekarang Lyla sedang kumpul kelompok drama. Lyla memang tak kebagian peran, tapi di ditugaskan oleh guru seni untuk membuat naskah drama dan sekarang ia harus membagikan naskah drama yang dibuatnya pada setiap orang.
“Gwen, ini naskah Mary Ann, Colin ini naskah Mr. Burrow, dan ini naskah Inspektur Frans buat Dave, mana Dave?” tanya Lyla ketika membagikan naskah yang sudah diperbaikinya satu-satu.
“Lho, bukannya Dave tak masuk hari ini?” ujar Colin, anak kelas 2 Convinient High School.
“Dave kan ikut pertukaran pelajar ke London,” sahut Gwen.
“Apa?! Pertukaran pelajar?!” seru Mrs. Linda panik, “Sampai kapan?”
“Dua bulan kalau tak salah...” Gwen mengingat-ingat.
“DUA BULAN!!!” Mrs. Linda berteriak amat kencang hingga murid-murid pada menjauh khawatir besok mengalami gangguan telinga. Ia mondar-mandir panik, “Bocah itu! Apa dia lupa kalau dia kebagian peran utama di drama ini?!”
“Sepertinya kita harus mencari penggantinya, Mam,” saran Colin.
“Pengganti bagaimana?! Pentas Musim Gugurnya sebulan lagi, dan skripnya Inspektur Frans banyak sekali, siapa yang begitu jenius bisa menghafalkan skrip begitu banyak dan berakting memukau selain Dave?”
Lyla memandang Dylan yang sedang memojok sambil baca buku. Gwen ikutan memandang Dylan. Anak-anak drama yang lain mengikuti arah pandangan Lyla dan Gwen. Tak ayal Mrs. Linda juga memandang Dylan, yang memang sedari tadi mengikuti kemana Lyla pergi.
Dylan yang sadar semua sedang memandanginya berkata ketus, “Apa?”
Lyla tersenyum manis, “Dylan, aku tak pernah melihat orang yang lebih jenius dan pintar selain kau...”
Dylan langsung mengernyit heran, “Kau tak pernah memuji dengan tulus, katakan saja mau apa?”
Lyla langsung menyerahkan skrip naskah ke tangan Dylan, “Nih, hafalkan. Kau ikut Pentas Drama Musim Gugur, selamat ya.”
“Hah?!”