Achieving the Dream Alongside of You

Wednesday, July 14, 2010


“““
Semua menunggu dengan tegang di koridor bangsal rumah sakit sekolah. Seiji mondar-mandir tak karuan. Lyla duduk sambil terus berdo’a. Dylan berdiri, sejak tiba dia tak berkata apa-apa dan hanya berdiri dengan tampang serius. Dan Nick? Nick terduduk di lantai, lumayan jauh dari mereka, membenamkan kepalanya di balik lututnya dan... gemetaran. Sejak Nicole masuk bangsal, ia terus begitu sambil gemetaran.
Lyla ingin sekali menghiburnya, tapi ia dicegah oleh Seiji. Lagipula, ia juga tak tahu harus berkata apa pada Nick yang terlihat begitu hancur.
Lyla hanya bisa berdo’a semoga saja Nicole bisa diselamatkan. Di dalam ruang emergency Prof. Connor, guru kelas biologi, Prof. Timothy, guru kelas Kimia dan Madam Kellan, Kepala Perawat Rumah Sakit Sekolah sedang bahu-membahu menyelamatkan nyawa Nicole sebisa mungkin. Meski mereka guru, pada dasarnya mereka dokter yang lumayan hebat.
Pintu ruang emergency terbuka setelah begitu lamanya. Nick yang jadi pertama kali berdiri untuk menyambut Prof. Timothy.
“Nicole sudah berhasil memuntahkan sebagian besar racun yang ia minum, tapi ia masih dalam masa kritis. Disini peralatan medisnya kurang memadai, kusarankan murid itu dibawa ke rumah sakit pusat di London,” jelasnya sambil bermandikan peluh, “Sesegera mungkin.”
“Ya, aku tahu. Aku sudah memanggil satu unit helikopter yang akan mengantarnya kesana,” Dylan tiba-tiba bersuara, “Mereka akan segera tiba tak lama lagi.”
“Bagus, aku akan menyiapkan segalanya,” ujar Prof. Timothy terlihat luar biasa lega. Ia masuk lagi ke ruang emergency.
“Kapan kau memanggil helikopter, Dylan?” tanya Seiji heran.
“Itu tak penting, yang penting kita sekarang segara ke TKP untuk....”
BUG!!!
Lyla menjerit. Dylan terpental, ia baru saja ditinju oleh Nick dengan cukup keras.
Dengan sedikit sempoyongan Dylan berdiri lagi. Ia menatap Nick, yang membalasnya dengan tatapan amat marah. Nick bahkan sudah memegang kerah Dylan untuk kembali menonjok wajahnya sekali lagi, dan Dylan tak berbuat apa-apa.
“Hentikan Nick,” ujar Seiji yang tau-tau sudah mengunci tangan Nick dengan cepat. Hal yang mudah buatnya yang seorang Master Judo.
“Lepaskan dia Seiji, aku pantas menerimanya,” kata Dylan sambil mengusap darah yang menetes dari sudut bibirnya.
Seiji lalu melepaskan pitingannya ragu.
“KAU! KAU SUDAH BERJANJI!” sembur Nick marah pada Dylan, “KAU BERJANJI PADAKU AKAN SEGERA MENEMUKAN PELAKUNYA! KAU BERJANJI AKAN MELINDUNGI NICOLE, DASAR PEMBOHONG!”
Dylan terlihat pasrah, “Maafkan aku.”
“Aku... aku tak percaya lagi padamu,” desis Nick dingin dan penuh emosi. Ia lalu pergi menghilang dari balik belokan koridor.
“Dylan, kita harus segera ke TKP,” ujar Seiji memecah keheningan yang terjadi beberapa lama setelah Nick pergi.
“Yah... aku tau, tapi aku mau mengecek sesuatu dulu...”
“Apa?”
“Aku mau lihat monitor yang terhubung dengan kamera...”
“Dylan, tidak bisa,” sela Seiji, “Di jalan sudah kuceritakan padamu kan, kamera itu ditutup kain hitam oleh pelaku ketika kejadian terjadi jadi kita tak bisa melihatnya.”
“Aku sudah mengantisipasinya. Aku memasang super mini kamera tersembunyi satu lagi di depan kamar Nicole. Tak lama lagi kita akan tahu siapa pelakunya.”
“““
Dylan berusaha serius memandangi layar monitor yang terpasang di kamarnya. Namun, ia sama sekali tak bisa konsentrasi.
Bagaimana bisa? Cepat sekali, dan ini terlalu rapih. Aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Tapi, pelaku itu bisa melakukannya dengan mudah. Pasti ada sesuatu yang terlewat, tapi bagaimana?
Tiba-tiba kamar Dylan diketuk.
“Siapa?”
“Ini aku, Lyla. Ijinkan aku masuk sebentar.”
Dylan menyandarkan tubuhnya ke kursi terlihat letih, “Masuk saja.”
Pintu terbuka, Lyla masuk sambil membawa kotak kecil, “Aku membawa obat. Memar di wajahmu harus ada yang mengurus...”
Dylan cuma memejamkan matanya. Lyla menghampirinya.
Lyla mengusap memar di wajah Dylan pelan-pelan dengan menggunakan kapas yang diberi alkohol, “Semua orang pernah berbuat kesalahan, kau tak usah malu.”
Dylan membuka matanya. Menyadari wajahnya dengan wajah Lyla begitu dekat, mereka berdua menjauh.
“Mak... maksudku, meski tadi di perpustakaan aku mengatakan kau bukanlah manusia tapi aku tak benar-benar bermaksud mengatakannya...,” ujar Lyla yang langsung gugup, ia menyerahkan kapasnya, “Nih, kompres sendiri!”
Dylan menerimanya dan menempelkannya ke pipinya yang membiru akibat pukulan Nick yang penuh emosi.
“Kau tetaplah manusia. Sesempurna apa kau, meski kau pintar, kau kuat, dan.... ehem, berwajah tampan... Kau masih manusia. Dan semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Musibah yang menimpa Nicole, tidak sepenuhnya kesalahanmu. Kau sudah melakukan yang bisa kamu lakukan buat melindungi Nicole. Jangan menyalahkan diri sendiri,” ujar Lyla yang seperti tau apa yang ada di pikiran Dylan.
“Maaf...”
“Apa?”
“Tadi di perpustakaan, perkataanku kasar,” kata Dylan pelan. Ia memalingkan wajahnya agar tak terlihat oleh Lyla.
Lyla bengong sesaat. Kemudian menutup mulutnya menahan tawa, “Hmph... hahaha...”
“Apa yang lucu?!” bentak Dylan kesal.
“Kau bukan tipe orang yang bisa meminta maaf, kau ini siapa? Apa yang sudah kau lakukan pada Dylan yang kukenal?” tanya Lyla geli.
Dylan mendengus masam, “Sudah, lupakan saja!”
Lyla cuma tersenyum. Dasar cowok aneh. Mungkin dia baru dia juga bisa melakukan kesalahan dan gak selamanya sempurna, baru deh nyadar kalau dia banyak salah ke aku, bodoh.
“Sebenarnya, aku masuk kelas science itu semua demi kakakku. Aku berutang padanya, utang nyawa. Kalau dia masih ada, mungkin saat ini dia sudah memenuhi cita-citanya sebagai seorang dokter. Harusnya aku yang ada di sana, bukan kakakku. Makanya, aku ingin menggantikannya. Aku ingin semua yang harusnya sudah dia lakukan, aku yang melakukannya. Aku tahu aku bodoh, tapi aku berusaha demi kakakku.”
Dylan diam saja mendengar cerita Lyla. Ia baru ingat kalau Lyla memiliki masa lalu yang tragis. Di hatinya terbersit sedikit penyesalan karena pernah mengatai Lyla ‘anak yang tak jelas asal-usulnya’.
“Baiklah!” ujar Lyla yang tau-tau menepuk bahu Dylan dengan amat kencang sampai-sampai Dylan tersentak kaget, “Gih sana, kerja lagi! Katanya kau sudah tau siapa pelakunya!”
            Dylan membetulkan posisi duduknya dengan malas, “Belum... aku baru menemukan cara untuk mengetahui si pelaku. Hanya saja dari tadi di rekaman ini tak ada aktivitas! Masa pelakunya bisa berubah kasatmata di hadapan kamera?”
Lyla ikut mengamati monitor. Benar juga, yang terlihat dari tadi hanya dua orang petugas yang sedang mengobrol. Tak ada tanda-tanda apapun. Ia kemudian tanpa sengaja melihat tanggal rekaman, “Ehm... Dylan. Aku hanya ingin tahu, bukannya Nicole diracunnya hari ini ya? Tanggal 16, kok di situ tertulis tanggal 9? Harinya memang sama, tapi bukannya ini rekaman minggu lalu ya?”
Dylan baru menyadari kesalahannya. Jelas saja tak terjadi apa-apa di rekaman itu. Buru-buru ia mengganti kaset rekaman.
“Memangnya sedari tadi kau ngelamunin apa sih?” tanya Lyla penasaran, sampai-sampai tidak sadar ngeliatin rekaman yang salah.
“Bukan urusanmu,” jawab Dylan jutek. Ia malu berat dan merasa hari ini menjadi orang yang paling ceroboh di dunia.
Di rekaman terlihat dua orang petugas jaga yang dengan kegiatannya masing-masing. Yang satu sedang membaca koran, dan satunya lagi sedang memainkan hapenya. Tak lama kemudian muncul asap dari sebelah kiri mereka. Asap yang sangat tebal. Lalu, setelah menghirup asap itu kedua petugas itu langsung roboh dalam hitungan detik. Dylan menduganya sebagai gas tidur dengan konsentrasi tinggi. Setelah itu asap mulai menghilang sedikit demi sedikit. Terlihat bayangan mendekat. Lyla dan Dylan menunggu sosok itu muncul dengan tegang...
Cssss....
Tiba-tiba gambar di monitor itu hilang dan berubah recek. Tepat saat sosok bayangannya akan terlihat sedikit lagi.
“Damn!” maki Dylan kesal. Ia langsung jongkok dan memeriksa kabel sambungan VCR ke monitor. Masih tersambung dengan baik. Ia lalu mencoba melihat kabel-kabel yang lain.
“Dylan...” panggil Lyla.
“Sebentar!”
“Tapi sekarang gambarnya sudah kembali,” ujar Lyla yang matanya masih terpaku ke layar monitor.
Dylan buru-buru berdiri, “Benarkah.”
Lyla mengangguk, “Iya. Tapi tak ada siapa-siapa yang terlihat. Hanya dua petugas itu saja yang tertidur.”
Dylan kembali duduk di kursinya dan memutar ulang rekaman. Ia memutar ulangnya tepat saat kedua petugas itu roboh. Terlihat lagi bayangan yang mendekat. Dylan serius memperhatikan semuanya. Dan...
Cssss...
Gambar itu kembali rusak. Persis sama waktunya dengan sebelumnya.
Dylan memukul meja kesal, “Apa ini?! Kenapa mesti sekarang sih?!”
Ketika mau kembali mengecek kabel, Lyla menahan Dylan, “Tunggu...”
“Apa?”
“Sepertinya, gambar itu  akan muncul sendiri,” ujarnya yang kini menghitung dalam hati. Lima... empat... tiga... dua... sa....tu!
Tepat seperti yang dikatakan Lyla, gambar itu kembali dengan sendirinya. Dan yang terlihat hanyalah bayangan orang yang masuk ke kamar Nicole, kemudian terlihat tangan Nicole yang menutup pintunya.
Lyla memerhatikan wajah Dylan yang berubah sangat-sangat serius. Ia pasti merasa aneh mengapa gambar langsung hilang ketika sosok pelaku akan terekam. Lyla jadi ingin tahu bagaimana nantinya Dylan mengatasi keanehan ini.

Thursday, July 8, 2010


Dylan dan Lyla di perpustakaan dengan kegiatannya masing-masing. Lyla muter-muter mencari buku, Dylan tidur.
Hei kau! Bukannya kau yang mengajakku dengan paksa? Menarikku saat sedang makan siang? Keliatannya kau tidak butuh-butuh amat tuh...,” omel Lyla yang sebal melihat Dylan malas-malasan.
Dylan tidak benar-benar tidur di bangku perpustakaan. Ia langsung membuka mata begitu Lyla membanting buku-bukunya di meja.
BRAK!
“Apa itu?”
“Buku-buku yang direkomendasikan Prof. August buat ujian Fisika besok lusa. Kau tak belajar? Oh, salah... kau tak perlu belajar kan? Otakmu bukan otak manusia...”
Dylan menghampiri buku-buku itu, “Jangan buku ini.”
“Kenapa?”
“Aku sudah membacanya sekali dan otakmu tak memenuhi standar untuk bisa memahami buku ini,” ujar Dylan santai, niatnya membalas ejekan Lyla.
“Oh, thanks!” Lyla jelas-jelas tersinggung, “Lalu menurutmu buku apa yang bisa memenuhi standar otakku yang bodoh ini, manusia sok pintar?!”
“Ada, judulnya ‘Bermain Bersama Angka’ dan ‘Menjadi Einsten Cilik’,” ujar Dylan.
Lyla merasa kehabisan kata-kata buat melawan Dylan. Dia cuma bisa menggeram kesal.
Dylan yang melihat wajah cemberut Lyla yang lucu langsung tersenyum, “Bercanda kok...”
Lyla terpana sesaat melihat senyum Dylan. Pasalnya, selama hampir 10 tahun saling mengenal, ia tak pernah melihat senyumnya Dylan. Dan ternyata, senyumnya sangat manis.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Dylan risih mendapat pandangan aneh dari Lyla.
“Ice Cream,” gumam Lyla pelan.
“Hah?”
Lyla tersadar, “Oh, bukan apa-apa.”
Dylan tak mempedulikan lagi.  Ia bangun dari duduknya dan berjalan menuju rak-rak buku. Lyla cuma memperhatikannya melihat-lihat buku dan mengambil salah satunya. Kemudian Dylan jalan-jalan lagi, lalu mengambil salah satu buku.
“Urusanmu sudah selesai kan?” tanya Dylan sambil berjalan kembali ke arah Lyla.
“Iya, kamu sendiri?”
“Buku ini, ini rekomendasiku buat ulangan besok lusa,” ujar Dylan mengacuhkan pertanyaan Lyla. Ia menyerahkan sebuah buku yang berukuran sedang. Tidak setebal buku yang direkomendasikan Prof. August.
Lyla menerima buku itu tanpa berkata-kata, ia melirik buku yang dipegang Dylan, “Itu buku apa?”
“Kau tak perlu tahu kan?” Dylan balas bertanya.
Lyla merengut. Ia memilih menjatuhkan diri ke kursi dan mulai membaca.
Dengan rasa penasaran yang sangat, Dylan membuka buku tebal yang dia pinjam. Buku Alumni. Nama Ayahnya ada di buku ini, jika benar apa yang dikatakan Mom.
“““
Di kamarnya Nicole sedang bersedekap. Ia sedang berdo’a dengan kaspel kecil buatan tangannya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintunya. Nicole menggerutu kesal karena acara do’anya diganggu orang.
Huh, bukannya sudah kuminta polisi-polisi itu untuk tak menggangguku sementara waktu ini? Hobi banget sih ganggu orang lagi do’a....!
Nicole mau membuka pintunya tapi teringat pesan Dylan yang melarangnya membuka pintu untuk orang asing. Makanya ia mengintip dulu lewat lubang pintu...
“Kau kan....”
ÐÐÐ
Nick memainkan batu-batu di tangannya. Kadang ia lemparkan jauh-jauh karena kesal.
Dasar! Dia bilangnya pergi ke tempat menenangkan diri, tapi apa ini? Atap sekolah? dia sedang membohongiku ya? Gerutunya dalam hati. Kekesalannya bertambah saat Seiji tak menyahut meskipun sudah berkali-kali ia panggil. Seiji sedari tadi hanya melakukan gerakan-gerakan yang tak ia pahami.
Bangkit, membungkuk, bangkit lagi, lalu merunduk mencium tanah, gerakan apa itu? Pikirnya. Sekarang ia melihat cowok jepang itu menengok ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Nick tak peduli lagi. Ia kembali melemparkan kerikil di tangannya jauh-jauh.
Tak lama kemudian Nick mendengar suara Seiji memanggilnya, “Hey... kau tadi memanggilku?”
Nick cuma mendengus. Ia ingin balas mencueki Seiji.
“Nick...” panggil Seiji sambil berdiri dan mengibas-ngibaskan kain yang dipakainya sebagai alas melakukan ‘ritual’nya tadi.
“Kau berbicara padaku?” balas Nick sinis.
Seiji tersenyum geli, Nick lagi ngambek sekarang.
“Maafkan aku. Aku sedang shalat tadi, dan sama sekali tak bisa diganggu, ada apa?”
“Seharusnya kau bilang kalau kau tak bisa diganggu sejak tadi, supaya aku tidak mati bosan disini,” jelas Nick kesal.
“Iya, iya, maaf!” ujar Seiji sekali lagi dan mengambil posisi disamping Nick yang masih duduk sambil memainkan kerikil kecil ditangannya. Ia langsung tidur-tiduran.
“Hey, kau tak takut bajumu kotor?” tanya Nick keheranan.
“Itulah enaknya punya istri,” jawab Seiji simpel, “Ada yang akan mencucikan bajumu. Sudahlah, tidur saja. Kau kan bisa melaundry-kannya.”
Nick akhirnya mengikuti saran Seiji, ia ikut tidur-tiduran di atap sekolah.
“Saat aku masih SMU di Jepang dulu, aku biasa naik ke atap sekolah untuk tidur. Kadang-kadang aku juga ke atap sekolah jika aku punya masalah...,” cerita Seiji, “Coba kamu lihat awan-awan itu.”
Nick melihat ke arah langit sebentar, kemudian menoleh lagi, “Apa istimewanya?”
“Tidak ada. Aku cuma menyuruhmu melihatnya saja, jangan berpikir. Untuk sementara, kau pandangi awan-awan itu dan lupakan masalahmu.”
Nick menuruti perintah Seiji. Ia melihat awan-awan yang bergerak lamban mengikuti arah angin. Pada mulanya ia merasa bosan, tapi lama-lama ia tertarik dengan pergerakan awan yang berubah-ubah. Tak hanya itu, kadang ia menebak-nebak membentuk apakah awan-awan itu. Ia merasa menjadi anak kecil lagi, tapi perasaannya kini sangat damai.
Seiji tersenyum menyadari Nick mulai rileks. Ia lalu memejamkan matanya untuk merasakan Carlisle, kota pinggiran dekat laut yang masih segar.
Mereka berdua terdiam untuk beberapa lama.
“Nicole dan aku, kami berdua tinggal terpisah,” Nick tiba-tiba bersuara, “Kami berbeda pemahaman mengenai siapa yang benar, Ayah atau Ibu. Ia akhirnya membenciku karena aku lebih mendukung ayah dan kami mulai tak saling mendengarkan. Nicole tak pernah mau menurutiku, ia tak mau bercerita apapun. Tapi aku berusaha melindunginya sebisaku.
Kini melihatnya seperti itu aku merasa bukan kakak kembar yang baik untuknya. Dia tak mau makan, kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Dia bilang kalau dia sudah tak sanggup lagi menunggu kapan pembunuh itu datang dan menghadiahkan kematian kepadanya. Aku tak sanggup melihatnya menderita seperti itu dan.... akhhh!”
Nick terlonjak bangun memegangi dadanya seperti orang kesakitan.
“Ada apa?” tanya Seiji cemas dan ikut bangun.
“Dadaku sakit sekali. Rasanya seperti ada yang meremas-remas...” rintih Nick.
“Apa perlu ke klinik?”
Nick menggeleng, “Tidak. Aku memiliki firasat buruk.”
“Apa?”
Nick segera bangun dan berlari menuju tangga turun, “Nicole dalam bahaya!”
ÐÐÐ

Sunday, July 4, 2010

Hwaaaa.... senengnya!

Ini pertama kalinya aku dapat award dari sesama teman blogger, dan yang sudah memberikannya adalah iis Makasih ya Iis!

nah,,,, sesuai mandat, award ini harus kuteruskan ke 3 orang sahabat blogger jadi kasih ke siapa yaaaa???


1. Deta
2. Ratih
3. Ayu


oh ya, yang dapet award harus segera memposting awardnya di blog, dengan judul "Muslimah Friendship Award" Oce~!?

Rifki akhirnya diberi satu kamar dengan Nick. Rifki ditugaskan Seiji untuk menyamar sebagai murid, kadang juga koki, kadang staf tukang bersih-bersih, apa saja. Bahkan ia bisa menyamar menjadi Kepala Sekolah jika dibutuhkan. Karena itu keahlian Rifki Mahatir, mata-mata anggota elit yang bisa menghapus keberadaannya sendiri di dunia kapan saja, jika dia membutuhkannya.
Untuk seminggu pertama, Rifki dijadikan staf dapur. Karena siapapun yang bisa mencuri garam dalam jumlah besar pasti memiliki akses ke dapur juga. Tapi pemudaitu tak menemukan seorang pun yang pantas dicurigai.
Akhirnya Seiji menyuruhnya untuk menyamar menjadi murid saja. Rifki menurut. Dia menjadi murid yang sekelas dengan Nick, yang berarti sekelas dengan Terry.
Seiji menghampiri Dylan yang hari ini lagi-lagi bersemedi di ruang arsip, “Kau seperti kurang kerjaan.”
“Thanks,” jawab Dylan dingin, “Aku baru menghafal data siswa angkatan tahun ini, dan tahun lalu saja. Masih banyak yang harus kuhafal.”
“Sebaiknya kau mengerjakan hal lain. Aku sudah capai-capai memasangkan perangkat internet di kamarmu, kau tak berniat menggunakannya? Katanya ada hal penting yang harus kau periksa.”
“Oh....” Dylan sepertinya tidak mendengar kata-kata Seiji barusan.
Seiji mendengus, “Biar aku saja. Aku saja yang menghafal data para guru dan staf. Aku sudah menemukan hal yang menarik tentang relasi antara Nicole, Terry dan Peter.”
Dylan mendongak. Matanya menghitam kelihatan kurang tidur, “Benarkah.”
Seiji mengangguk, “Rifki yang dapat informasinya. Terry adalah mantan pacar Nicole, mereka cukup lama berpacaran. Setelah putus dengan Terry, Nicole menjalin hubungan dengan Peter. Terry, Nicole, dan Peter seperti terikat cinta segitiga. Mereka seperti terisolasi, setelah hubungan itu baik Nicole, Terry maupun Peter tak menjalin hubungan serius dengan siapapun lagi. Jika mereka kencan dengan orang lain, maka itupun hanya kencan biasa. Tapi ketiganya sudah menjalin persahabatan yang sangat erat.”
Dylan manggut-manggut, untuk sesaat dia melupakan kertas-kertas arsip di hadapannya, “Jadi ada kemungkinan motif cinta ya...”
“Tapi, mereka bertiga adalah korban,” bantah Seiji, “Lebih seperti ada yang tak suka pada mereka.”
“Aku tahu, kan aku bilangnya ‘ada kemungkinan’,” ujar Dylan yang tiba-tiba teringat sesuatu, “Cinta segitiga ya...”
“Ada apa?”
Dylan berdiri, “Bukan apa-apa. Kau kan bilang mau menggantikanku menghafal semua data ini. Silahkan, hafalkan seluruh staf ya!”
“Hmmm....” Seiji menggumam malas. Ia langsung duduk dan mengambil posisi yang enak untuk mulai membaca arsip-arsip.
“““
Dylan menghampiri Lyla yang duduk di ruang makan bersama Gwen, “Ayo ikut.”
Lyla mendongak. Mulutnya masih penuh sup tomat, “Hah? Kemana?”
“Ke perpustakaan. Yang dulu kan tak jadi. Aku tak tahu letaknya, tunjukkan padaku!”
Lyla berusaha tak mempedulikan Dylan, ia kembali menenggelamkan diri ke mangkuk supnya, “Kau tak lihat aku sedang makan siang?”
Dylan yang tak sabaran menoleh ke Gwen yang tampaknya sebentar lagi menyelesaikan makannya, “Kalau begitu kau saja. Ayo, antarkan aku.”
“Kenapa aku harus menurutimu?” sengit Gwen kesal.
“Karena aku FBI,” Dylan menunjukkan lencananya, “Kau harus menurutiku atau kuanggap kau menghalang kerjaanku dan dijebloskan ke penjara.”
“Sinting,” gumam Gwen pelan.
“Ayo!” Dylan hampir saja menarik tangan Gwen kalau Lyla tak menahannya.
“Baik, baik, baik,” ujar Lyla menghentikan makannya, “Biar aku saja. Aku tak suka sup tomat dan aku sudah kenyang. Akan kuantarkan tapi jangan mengganggu Gwen.”
Ketika Lyla berdiri, Dylan langsung menggandeng tangannya.
“Eh... euh... Dy... dylan,” Lyla kaget.
“Jangan sampai kau menghilang lagi,” ujar Dylan pelan tanpa ekspresi.
Lyla sampai terperangah mendengarnya. Apalagi genggaman Dylan begitu lembut dan erat, kontan hati Lyla sampai dibuat dag-dig-dug.
“““
Nick menghampiri Seiji di ruangan arsip.
“Kau sudah dapat bayangan siapa pelakunya?” tanyanya.
Seiji menggeleng, “Nope!”
“Kau sudah mendapatkan petunjuk baru?”
“Masih belum.”
“Atau kau sudah membuat perkiraan baru?”
Seiji mengalihkan pandangannya ke Nick, “Apa yang kau ingin tanyakan sebenarnya?”
Nick mendesah. Ia seperti memiliki berton-ton beban di pundaknya, “Seiji-sama, apa kau tak ada inisiatif memberi kejelasan tentang Nicole?”
“Tentang?”
“Tentang statusnya!” seru Nick kesal, “Jika dia memang target berikutnya, tidakkah harusnya ada sesuatu yang kau lakukan? Mengeluarkannya dari sekolah ini dan membawanya ke tempat yang lebih aman misalnya. Memangnya kau tidak bisa?”
“Bukannya tidak bisa. Hanya saja sebaiknya tidak. Disini sudah cukup aman, Nicole dijaga di kamarnya dengan pengawasan yang ketat, dua orang penjaga berganti setiap empat jam sekali, kamera 24 jam di depan kamar dan juga di dalam kamar. Kurasa itu sudah lebih aman dari tempat manapun di Inggris.”
“Kenapa mesti di sekolah ini? Pembunuhnya ada di sekolah ini! Percuma saja semua omong-kosongmu itu...”
“Kita tak bisa melakukannya, pertama, karena Nicole harus sekolah dan statusnya sebagai target hanya dugaan sementara yang sama sekali tidak kuat secara hukum, kedua, kita butuh dia sebagai petunjuk untuk menemukan pelaku.”
“Kau menjadikannya sebagai umpan...” desis Nick marah, matanya menatap tajam Seiji.
Seiji menggelengkan kepala, “Tidak sama sekali. Hanya saja ada kemungkinan yang mengarah kepadanya, semisal, menurut keterangan kedua temannya, Nicole sudah menyiapkan ruangan kulkas utama untuk menyekap Lyla sejak berhari-hari sebelumnya. Ada keanehan disini, karena bagaimana mungkin ia tak menyadari keberadaan mayat Peter Brown yang sudah terletak disana sebelumnya. Kemudian, tak ada yang tahu selain Nicole dan teman-temannya kalau Lyla disekap disana. Dan lagi, setelah ia diawasi, kasus seolah berhenti.”
“Kau masih menuduhnya!” bentak Nick tak percaya.
“Ini hanya dugaan kok,” bantah Seiji, “Tapi ini menjadi dugaan yang terkuat yang aku dan Dylan punya sekarang. Lagipula dari segi motif juga dia memilikinya.”
Nick langsung pucat. Melihatnya, Seiji buru-buru menambahkan...
“Tapi, dengan beberapa teori kecil, dugaan kami bisa langsung dibantah lho,” lanjutnya sambil tersenyum ramah menenangkan Nick, “Tenang saja, adik cantikmu tidak mungkin membunuh orang kan?”
“Ten... tentu saja!” seru Nick. Meski dalam hati ia sedikit ragu mengenai hal itu. Nicole yang sadis....
“Sudah ah...” ujar Seiji tiba-tiba bangkit, “Aku sudah tak bisa konsentrasi lagi. Tampaknya ada seseorang yang sudah membuyarkannya.”
Nick langsung merasa tersindir.
Seiji menghampiri Nick dan merangkul bahunya, “Ayo!”
“Kemana?”
“Menenangkan pikiran ala Seiji, sekalian aku mau shalat dulu..”