Achieving the Dream Alongside of You

Friday, May 28, 2010

Carlisle awalnya hanya kutemukan di peta. Aku ketika mulai menulis Convinient High School sadar betul kalau harus ada kota yang tepat buat jadi background Convinient High School, maka aku memilih Carlisle kota disamping laut tanpa tahu seperti apa rupanya. Belakangan ini aku mencari seperti apa Carlisle dan ternyata tepat seperti apa yang kubayangkan dan sesuai banget dengan Image Convinient High School.

Ini dia gambar-gambarnya!

Maaf ya kalau sebelumnya aku gak langsung posting lanjutan Convinient High School. Postingan kali ini sekedar refreshing dari mengerjakan novel (-novelan) Convinient High School.
Ada beberapa yang bertanya apakah ini cerita dari film, atau cerita buatan sendiri? Maka aku jawab, yap! Ini cerita buatanku sendiri. Sebenarnya aku berharap ini cuma cerita dari film, hingga aku tinggal menuliskan ulang kisahnya dan bahkan bisa menyisipkan gambar dari adegan per adegan namun sayangnya bukan. Ini kisah murni dari pikiranku sendiri, muncul begitu aja di kepala dan gatal ingin menulisnya.
Convinient High School sudah kubuat sejak dua tahun lalu. Dan belum selesai. Ada aja kendalanya. Pertama masih kutulis di sebuah buku (rajin banget ya?) tapi buku itu disita oleh guru gara-gara sampulnya gambar Monokurobo (di sekolahku ada peraturan tidak memiliki aksesoris yang bergambar babi atau anjing). Dan cukup lama disitanya. Karena down, aku jadi tak menulisnya ulang lagi. Karena sewaktu disita, buku itu sudah penuh dengan cerita Convinient High School dan ceritanya belum selesai.
Setelah lama dan aku hampir melupakan kasus penyitaan bukuku, guruku datang ke kelas dengan bukuku itu (oh masih ada!) namun sampulnya udah dirobek. Ia berkata sambil tersenyum,
“Cerita kamu bagus, Din. Kamu ada bakat. Lanjutin ya!”
Aku cuma bisa membalas senyumnya dan menerima buku itu lagi dengan terharu. Dalam hati aku cuma bisa bilang, Maaf bu. Saya tidak pengen lagi melanjutkannya. Udah bete.
Tapi ternyata kata hatiku itu salah. Setahun kemudian ketika aku melihat adikku dengan semangatnya menulis cerita sampai menghabiskan 4 lembar buku SIDU ukuran 58 lembar! Untuk satu ceritanya, dan ceritanya mendapat banyak apresiasi dari teman-temannya, aku jadi panas hati. Pengen rasanya bikin cerita lagi, dan yang terbayang hanya Convinient High School karena sebenarnya cerita Convinient High School itu ada sangkut pautnya dengan cerita yang dibuat adikku. Nanti aku beritahu bagaimana sangkut pautnya.
Dengan semangat aku menulis lagi kisah Convinient High School, tapi kali ini tidak di buku, kapok aku! Aku menulisnya ulang dengan mengetiknya di komputer tua milik orang tua—bayangkan masih ada aja komputer pentium 3 di zaman ini!—dan bagaikan air terjun, aku menulisnya dengan lancar. Ide-ide di kepala mengalir deras seolah tak bisa dibendung oleh tempurung kepalaku. Aku menulisnya cepat. Sehari bisa sampai sepuluh halaman.
Namun yang namanya batu kerikil penghalang kesuksesan, ternyata ukurannya cukup gede dan membuatku shock juga. Saat aku sudah mencapai lebih dari 90 lembar, dan Convinient High School sudah mulai mencapai konfliks yang utama dengan beberapa rahasia terungkap, komputer tua itu rusaaaaaaaaaakkkk!!! Aaaaaarggggghhh......
Sudah berbagai upaya dicoba, namun komputer itu tak lagi mau menyala dan memberikan sedikit aja kemurahan hatinya (mungkin ngambek karena diajak kerja rodi bareng). Hiks... hiks... aku cuma bisa tertunduk terpuruk. Kali ini kegagalan menghampiriku dua kali, dan membuatku benar-benar kehabisan minyak untuk menyalakan lagi api semangat yang sempat membara.
Setahun berjalan lagi. Tahun ini. Aku benar-benar masih menyimpan Convinient High School di hati dan bertekad akan menyelesaikan kisah itu suatu saat. Suatu saat, tapi gak tahu kapan. Apalagi dengan status anak sekolahan yang bakal menghadapi UAN dan segala macam tetek bengeknya.
Di tengah-tengah keinginan hati yang emang masih niat banget pengen nyelesain Convinient High School, ada lagi yang akhirnya memanas-manasi aku untuk menulis Convinient High School. Siapa itu????
Thanks to Kak Putri, Mba Nana, dan Mba Tirza! Aku tanpa sengaja menemukan blog mereka dan melihat betapa banyak yang setia mengikuti perkembangan blog mereka. Pengen sekali seperti mereka, karena darah menulisku sudah kental banget di tubuh. Aku sangat suka jika ada orang yang membaca tulisanku dan memberikan apresiasi walaupun itu cuma sedikit. Kak Put, Mba Nana, dan Mba Tirza mendapatkan itu.
Aku jadi teringat dua tahun lalu saat Convinient High School masih kutulis di buku Monokurobo dan meminta teman-teman sekelasku membacanya. Aku masih ingat betapa dengan serunya mereka membaca ceritaku, mengantri, dan membicarakannya langsung denganku, si penulisnya sendiri. Karena ceritaku belum selesai dan mereka sudah sangat penasaran, mereka membujukku agar menceritakan kelanjutannya dan memberitahu siapa pembunuhnya. Ohoho... no way! Tak boleh ada yang tahu siapa pembunuh asli di Convinient High School kecuali aku dan adikku (karena cuma dia tempat aku bertanya kalau kesulitan menulis, lagipula aku sedikit berutang budi dengan Convinient High School yang memiliki sangkut paut dengan ceritanya).
Tapi aku masih terbayang rasa senang saat berada di tengah-tengah mereka dan ikut membicarakan kisahku sendiri!
Sekarang kita udah pisah-pisah, menuju tempat kuliah masing-masing. Padahal aku sudah janji akan menyelesaikan cerita itu pada mereka. Soalnya udah 2 tahun gak selesai juga. Dan cara yang terpikirkan cuma menulis blog. Dengan begitu mereka juga bisa membaca ceritaku dari tempatnya masing-masing.
Aku juga sangat berterima kasih pada Kak Put, Mba Nana, dan Mba Tirza yang sudah ‘menyiram bensin’ ke tubuhku dan membuatku semangat untuk menulis blog seperti mereka. Really, really thanks to them!
Oh ya, aku akan menceritakan bagaimana sangkut pautnya Convinient High School dengan cerita adikku.
Convinient High School sendiri bisa dibilang sebenarnya, pada dasarnya, aslinya, kisah serial. Yak! Kisah serial, dan Convinient High School adalah serial ke 5.
Lalu apa serial ke 1, 2, 3 dan ke 4nya?
Aku sudah cerita kan, setahun lalu adikku membuat panas hati dengan menyelesaikan 4 buku SIDU untuk ceritanya yang cuma satu. Ya, benar seperti yang ada di pikiran kalian, aslinya bukan satu cerita. Tapi 4 buku itu isinya kisah serial per buku. Berbagai cerita yang masih terkait satu sama lain dengan tokoh yang sama.
Serial pertama judulnya Love in I.A.S High School. Kisah detektif-detektifan juga, kayak Convinient High School.
Serial kedua judulnya Airen, dengan tokoh yang sama dan lanjutan cerita sebelumnya namun kali ini terfokus ke kisah asmara.
Serial ketiga judulnya Otority, ada satu tokoh utama yang tidak main (tokoh ini juga ada di Convinient High School) dan kisah ini yang paling dapat pujian dari teman-temannya meski semua teman-temannya bertanya dimanakah si tokoh utama di cerita ini?
Serial keempat judulnya Soru, dan kisah inilah tokoh yang mengkaitkannya Convinient High School muncul. Si tokoh utama dari serial pertama dan kedua yang tidak muncul di serial ketiga dan berganti nama di serial ini. Siapakah diaaaaa??? Dia adalah Seiji Amano!
Yak! Seiji Amano, detektif jepang iseng, jail dan suka mengerjai Dylan ini adalah tokoh bentukan adikku. Aku ingin juga mengerjakan kisah lanjutannya, namun dengan tokoh-tokohku sendiri sebagai tokoh utama. Aku menyebutnya serial ke 5. Karena adikku sudah keburu menyelesaikan buku ke 4 dan dan jika aku tak segera menyelesaikan Convinient High School, mau gak mau dia akan menyelaku lagi karena dia sudah memiliki ide untuk cerita ke 6. Aku juga, sebenarnya sudah memiliki ide untuk cerita ke 7 makanya kalau Convinient High School gak segera ditulis, maka tidak akan bisa ditulis lagi untuk selamanya.
Jadi, dengan Seiji Amano, aku menulis cerita ini.
Intinya, Seiji Amano bukanlah sekedar tokoh biasa di Convinient High School, dia pun memiliki kisahnya sendiri yang berliku di buku-buku sebelumnya. Namun, kalian tak perlu membaca serial sebelumnya untuk mengerti cerita Convinient High School, karena Convinient High School bisa dibilang hanya masa istirahat Seiji Amano untuk nantinya bertemu dengan masalahnya sendiri lagi di serial ke 6.

Dylan menghampiri Lyla yang meringkuk kedinginan di pojok. Ia hampir saja melupakan keberadaan gadis itu karena sibuk memeriksa mayat Peter Brown yang membeku di dalam es. Ia bahkan hampir melupakan rasa dingin.
Ia lalu duduk di samping Lyla, kemudian menyentuh tangan gadis itu. Dingin sekali, gumamnya dalam hati.
“Hei, jangan tertidur,” ujar Dylan cemas saat melihat Lyla mau memejamkan matanya, “Jangan di tempat ini, kau bisa mati.”
Lyla tak menjawab. Ia semakin meringkuk dan menenggelamkan diri di blazer Dylan yang ia kenakan.
Dylan yang mengerti penderitaan Lyla langsung merangkul gadis itu erat. Setidaknya tubuhnya masih lebih hangat dibandingkan Lyla.
Lyla yang merasa lebih hangat semakin mendekatkan diri ke Dylan.
“Kau harus makan sesuatu,” ujar Dylan yang merogoh kantung blazernya. Ia mengeluarkan sebatang cokelat kemudian menyodorkannya pada Lyla, “Makan ini.”
Lyla menggeleng lemah, “Tidak. Tenggorokanku sakit.”
“Jangan manja, makan!”
Lyla cuma mengatupkan mulutnya.
Dylan menggerutu ia lalu menggigit cokelat itu dan melumerkannya di dalam mulut, kemudian menatap Lyla dan mengancamnya, “Kau mau kusuapi dengan mulut?”
Lyla menggeleng lagi cepat. Ia langsung mengambil cokelat itu dari tangan Dylan dan mulai memakannya.
“Nah, kau mulai baikan sekarang,” ujar Dylan yang melihat wajah Lyla yang memerah.
Lyla tak bisa menanggapi apa-apa. Ia tersenyum kecil, aku sudah mendapatkan kencan yang aneh.
“““
“Apa kau yakin arahnya ke arah sini?” tanya Seiji saat berlari mengikuti Nick ke arah dapur utama.
“Aku tidak yakin, tapi ini satu-satunya tempat dimana semua orang bisa mati beku jika dikurung di dalam sana,” jawab Nick. Ia semakin panik.
“Tempat apa?”
“Kulkas,” ujar Nick ketika melangkah masuk ke dapur utama. Ia langsung mencari-cari kulkas tempat persediaan utama.
“Kulkas?!”
Nick tak menjawab lagi. Ia segera beralih ke pintu besi yang baru saja dilihatnya. Ia sebenarnya merasa tak yakin apakah Lyla benar-benar ada di dalam tempat itu. Namun pada akhirnya ia berteriak juga memanggil Lyla.
“Lyla! Apa kau di dalam?!”
“Nick! Kami di dalam!” balas Lyla, “Tolong bukakan pintunya!”
Nick terperanjat kaget. Ia segera berusaha membuka pintu besi itu. Tidak bisa terbuka. Pintunya dikunci.
“Tidak bisa dibuka!” teriak Seiji yang berusaha memutar gagang pintu besi, sia-sia, “Pintunya dikunci!”
“Tadi tidak terkunci!” Dylan berseru dari dalam pintu besi, “Kenapa kalian lama sekali?!”
“Dylan kau di dalam juga?” tanya Seiji kaget.
“Iya, panggilkan seseorang untuk membuka pintu ini!” ujar Dylan, “Juga panggilkan Ahli Forensik dari kepolisian!”
“Buat apa?”
“Aku telah menemukan Peter Brown!”
“““
Setelah keluar dari kulkas raksasa, Dylan langsung membawa Lyla ke bangsal perawatan. Setelah itu ia segera ke kulkas itu lagi melihat proses pengangkutan mayat Peter Brown keluar.
Seiji mengomandoi ahli forensik untuk mencairkan esnya dengan hati-hati agar tak ada barang bukti yang rusak. Mereka ingin tahu apa penyebab kematian Peter Brown, selain membeku dalam es tentunya.
Ketika mayat Peter Brown berhasil dikeluarkan, Seiji perlahan mengangkat kepala Peter Brown.
“Memar, Peter Brown sepertinya dipukul dari belakang,” ujar Seiji kepada Dylan, ia lalu menunjuk kedua kaki mayat yang terikat, “Kemudian mengikat kakinya tapi sepertinya ada yang aneh.”
“Apa?”
“Kalau dia hanya dipukul sampai pingsan kenapa kalau dia sadar tidak segera keluar saja dari bak air itu?”
Dylan berpikir sebentar. Ia lalu menghampiri bak tempat Peter Brown ditemukan dan melihat air yang masih tersisa. Ia mencoleknya, menciumnya sebentar, kemudian menjilatnya. Setelah itu menatap Seiji, “Air ini asin. Garam membuat proses pembekuannya menjadi lebih cepat.”
“Kalau begitu kita harus mencurigai murid, atau guru yang memiliki garam dalam jumlah besar,” simpul Seiji.
Dylan setuju. Ia lalu mencari sesuatu lagi, “Apa kali ini ada?”
“Maksudmu kertas nama itu?” tanya Seiji.
Dylan mengangguk.
“Ya, ada. Di kantungnya,” ujar Seiji menyerahkan kertas itu pada Dylan.
“Buat apa kau menyerahkannya padaku?” sengit Dylan kesal, mengembalikan kertas itu, “Kau kan tahu aku tak bisa membaca sandinya!”
“Bukan sandi, tapi hangul!” balas Seiji, kemudian mengeluarkan kertas itu dari plastik bukti dan membacanya, “Ini...”
Dylan melihat wajah Seiji yang berubah serius, “Siapa?”
“Nicole Jhonshon...”
“““
Dylan meminta Seiji memberitahukannya lebih dulu kepada Nick. Seiji melaksanakannya meski dengan menggerutu. Kenapa tidak Dylan saja?! Kenapa mesti aku?!
Nick yang menerima berita itu terlihat lebih shock dari perkiraan Dylan dan Seiji. Ia bahkan menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia juga bertanya pada Dylan berkali-kali apa benar Nicole yang jadi target berikutnya?
“Kemungkinannya begitu, kita harus waspada,” jawab Dylan, “Nicole harus diberitahu karena kewaspadaan itu lebih baik daripada segala macam bentuk penjagaan diri.”
Dan kini Dylan dan Seiji melihat Nick memberitahukan Nicole soal itu.
Nicole juga terlihat shock, ia menangis dan Nick memeluknya. Dylan melihatnya dari jauh.
“Bagaimana? Apa aku harus mencari hubungan dari kedua korban dengan Nicole?” tanya Seiji.
“Ya, sebaiknya kau cepat menemukannya, mungkin kita akan menemukan sesuatu...” ujar Dylan sambil memegangi kepalanya yang terasa berat.
Seiji melihat wajah Dylan yang memucat, “Ada apa? Kau sakit?”
“Tidak,” Dylan membantah, ia beranjak pergi, “Aku harus memeriksa stock dapur dan melihat apakah dapur kehilangan garam...”
Dylan tiba-tiba limbung saat jalan. Seiji langsung menangkapnya.
“Kau demam!” seru Seiji saat memegang Dylan.
“Aku tak apa-apa, pasti akan hilang dengan sedikit tidur,” bantah Dylan berusaha mengelak, tapi tak ada gunanya melawan Seiji yang master judo.
Seiji sudah memegangnya erat dan memapahnya, “Jangan memaksakan diri. Kau speertinya harus dirawat. Bukan cuma Lyla saja yang terkurung di dalam kulkas, tapi kau juga. Gak usah sok jagoan. Kau masih manusia. Ayo! Kita ke bangsal! Sekalian kau kan bisa menemani kekasihmu di sana!”
“Dasar bodoh...” maki Dylan lemah. Ia mau tak mau harus istirahat dulu. Argh, padahal aku baru saja menemui kasus lagi!
“““
Sebulan beranjak setelah kasus Peter Brown. Tak terjadi apa-apa. Sepertinya si pembunuh itu sedang istirahat atau merencanakan cara untuk membunuh Nicole. Karena Nicole kini dijaga ketat oleh polisi. Kamarnya dijaga oleh polisi, kemanapun dia pergi selalu di jaga oleh polisi. Nick juga selalu menjaganya kemana-mana. Ia tak membiarkan seorang pun menyentuh Nicole.
Sejumlah besar garam memang menghilang dari dapur, tapi tak ada yang tahu siapa yang mengambilnya. Dylan menggerutu, kenapa si pelaku tidak memesan garam saja sih! Kan jadi lebih mudah untuk diselidiki siapa yang memesan dan bagaimana garam itu bisa keluar masuk sekolah.
Lagi-lagi tak ditemukan bukti yang cukup untuk menjebak pelaku. Tapi Dylan tahu satu hal dari pengakuan Nicole yang mengatakan hanya menutup pintu kulkas, tidak menguncinya. Dan Nicole juga bilang tak tahu kalau Dylan menyusul Lyla masuk ke dalam kulkas, jadi berarti ada orang lain yang melihat mereka. Ada orang lain yang memang berniat membunuh mereka berdua karena tak ingin mayat Peter Brown ditemukan. Berarti, orang itulah yang membunuh Peter Brown, juga Terry Landstorm.
Dylan jadi gemas, pelakunya di dekat mereka saat itu namun ia tak menyadarinya sama sekali malah terkunci di kulkas.
Seiji juga tak bisa lama-lama di Convinient High School, ia harus kembali ke kantor FBI memeriksa apa ada kasus penting yang membutuhkannya. Selain itu ia juga harus kembali ke Seoul karena pasti aneh kalau ia ‘kerja dinas’ sangat lama, dan istrinya tak menyadarinya.
Tapi ia berjanji akan segera kembali begitu mendapati tak ada kasus yang sangat penting di FBI. Ia bahkan berjanji membawakan perangkat Internet lengkap buat Dylan yang sepertinya ingin menyelidiki sesuatu.
Sebenarnya sesuatu itu ia dapatkan ketika saat keluar Convinient High School bersama Lyla untuk belanja kebutuhan. Biasanya hanya boleh dilakukan siswa Convinient High School setiap sebulan sekali.
“““
“Hey, kau bisa cepat sedikit tidak sih!” seru Dylan saat berbelanja bersama Lyla di departement store di Carlisle.
“Tunggu...” ujar Lyla yang terdiam di depan counter alat-alat mandi, “Aku sedang memilih sikat gigi...”
Dylan yang kesal menunggu Lyla lalu mengambil salah satu sikat gigi berwarna pink yang tergantung di rak, “Sudah kan! Ayo!”
“Eh, kok warna pink?” tanya Lyla heran.
“Kenapa?” tanya Dylan makin tak sabar, “Bukannya semua cewek suka warna pink?”
“Tapi itu kubelikan buatmu,” kata Lyla, “Sikat gigimu sudah bercabang bulunya.”
Dylan memandangi sikat gigi warna pink di tangannya, ugh..., “Ya sudah! Apa aja!”
Lyla lalu mengambil sikat gigi warna biru kemudian mengganti sikat gigi warna pink.
Dylan yang merasa urusannnya sudah beres langsung berjalan ke kasir sambil mendorong troli. Lyla mengikuti dari belakang.
Saat sudah tiba di kasir dan harus mengantri dengan ibu-ibu Lyla tiba-tiba bilang ada sesuatu lagi yang harus dibeli.
“Bukannya urusanmu sudah selesai? Mau beli apa sih?!” tanya Dylan jengkel.
Lyla merengut, masa aku bilang mau beli tampon?
Melihat Lyla melipat wajahnya sedemikian rupa, Dylan akhirnya mengalah, “Ya, ya, ya, sana cepat!”
Lyla tersenyum kemudian berlari ke arah counter apotik. Biasanya tempat itu yang menjual pembalut.
Dylan yang menunggu di kasir, bersama-sama ibu-ibu yang menggosip langsung memasang telinga ketika tiba-tiba ibu-ibu itu menyebut Convinient High School.
“Kudengar di sekolah itu terjadi pembunuhan lagi ya?”
Lagi?
“Ya, kali ini polisi bahkan turun tangan. Bahkan katanya ada FBI juga lho!”
“Ada FBI juga?!”
“Ya, sepertinya kali ini kasusnya serius. Mungkin sekolah itu juga akan ditutup.”
“Biar saja! Biar Kepala Sekolah itu tau rasa. Dulu di sekolah itu terjadi pembunuhan dan dia mendiamkannya. Sepertinya sekolah itu dikutuk.”
Dulu terjadi pembunuhan?
“Ah ya?! Kasus 27 tahun yang lalu itu kan? Ah, malangnya gadis itu. Orang tua nya juga tak bisa menuntut apa-apa.”
27 tahun lalu? Gadis?
Dylan lalu mencatat setiap informasi yang diperolehnya dari Ibu-ibu itu di otaknya.
“““
Saat ini bisa dibilang, sepi kasus. Seiji yang kesal sudah capek-capek kembali ke kantor pusat pun akhirnya memilih pulang sebentar ke Korea, menemui istrinya. Tapi baru niat, karena saat itu tiba-tiba SMS datang ke hapenya, dari istrinya.

Seiji, maaf katanya kau mau pulang hari ini? Aku sedang tidak di rumah. Omma memaksaku untuk menetap di rumahnya sampai saat aku melahirkan. Tradisi katanya. Jadi kalau kau pulang dan lapar, di kulkas sudah ada makanan dingin, tinggal dihangatkan saja. Kalau kau mau menyusul ke rumah Omma jangan lupa hubungi aku dulu.

Seiji merengut membacanya. Kalau begini dia tak ada pilihan lain selain membantu Dylan di Convinient High School. Okeh, back to school!
Tapi tubuhnya rasanya capek semua. Ia memutuskan untuk tidur sebentar di kantornya Dylan.
Saat baru mau tidur tiba-tiba pintunya di ketuk. Ia langsung memasang tubuh siaga. Otaknya berjalan cepat, tak ada yang tahu kalau sekarang kantor ini ada penghuninya. Dylan juga sudah memberitahunya kalau semua orang mengira dirinya sedang cuti panjang, jadi buat apa orang itu mengetuk pintu?
“““
Sejak menyebar berita bahwa sasaran pembunuh itu hanya murid populer, anak-anak populer langsung berlomba-lomba meminta maaf pada anak-anak yang tidak populer. Mereka takut setelah Nicole, nama mereka yang akan jadi tertulis berikutnya.
Termasuk Gaby dan Sharon, mereka meminta maaf pada Lyla. Lyla dengan tulus memaafkan mereka meski pada akhirnya Gwen mengomeli mereka berdua.
Dylan yang lagi bersemedi di ruang arsip sekolah memeriksa dan menghafal nama-nama murid, guru, dan para staf sekolah dikejutkan oleh kedatangan Seiji yang begitu cepat bersama seseorang.
“Kamu mungkin belum mengenalnya,” jelas Seiji, mengenalkan temannya, “Namanya Rifki Mahatir, dia Anggota Elit Divisi Mata-mata FBI. Selama ini hanya kerja lapangan jadi kau belum pernah menemuinya.”
“Hai,” ujar Dylan dingin terhadap Rifki, ia langsung beralih ke Seiji, “Tak ada kasus baru atau apa?”
“Tak ada, tapi aku membawa peralatan internet yang kau butuhkan,” kata Seiji, “Aku akan memasangnya di kantormu, kalian ngobrol dulu ya?”
Seiji langsung meninggalkan Dylan berdua dengan Rifki sambil tersenyum geli. Gunung es ketemu gunung es, apa jadinya?
“Jadi ada perlu apa kesini?” tanya Dylan tanpa meninggalkan kesan dinginnya. Ia bahkan tak menoleh pada Rifki dan sibuk memeriksa arsip murid-murid lagi.
“Liburan,” jawab Rifki singkat. Sama sekali tak kalah dingin.
“Jadi begini caranya kau liburan?” tanya Dylan.
“Ya, aku sedang mencari kasus yang takkan membuang nyawa. Kuharap aku akan menemuinya disini.”
“Kurasa aku tak bisa memberimu tugas disini.”
“Begitu? Tapi aku bukan bekerja dibawahmu. Aku bekerja dibawah Seiji. Kau kan sedang ‘tidak bertugas’. Aku tak menerima perintahmu.”
Dylan cuma tersenyum tipis. Seiji sedang membuatnya menemui orang yang sangat mirip dengan dirinya sendiri.

Sejak kejadian itu Dylan dan Seiji pun bahu membahu mengusut kasus itu bersama-sama. Mereka menyelidiki latar belakang korban dan menemukan, bahwa korban, Terry Landstorm adalah salah satu murid Convinient High School yang dianggap populer dan suka menggencet anak-anak lain. Jika pelakunya adalah murid juga, maka motif yang paling mungkin adalah dendam. Sayangnya, tak ada satupun petunjuk yang bisa memberi sedikit keterangan kira-kira siapa pelakunya. Lorong itu sepi, dan jarang dilewati murid makanya tak ada yang bisa memberikan kesaksian atau sekedar memberi tahu apakah ada orang yang mencurigakan lewat disekitar TKP sebelum kejadian tersebut. Waktu kejadiannya juga saat jam makan siang, hingga kemungkinan kalau ada satu murid yang menghilang, takkan ada yang menyadarinya, kecuali satu hal yang Dylan dapatkan dari Lyla.
“Kalau murid populer, pasti seluruh orang akan memperhatikan kemana dia pergi. Kau kan murid populer, berarti kau pasti dilihatin, diikutin, diintip, wajarlah! Jangan merasa kesal, nikmati kepopuleranmu. Kau beruntung tau!” ujar Lyla ketika Dylan menggerutu saat makan siangnya lagi-lagi diganggu.
Dylan langsung menarik kesimpulan berarti ada kemungkinan pelakunya bukanlah murid yang terlalu populer. Menurut kesaksian beberapa murid, mereka memang merasa kehilangan Terry saat jam makan siang. Namun tak ada yang menyadari kemana hilangnya Terry, dan juga tak tahu siapa yang bersamanya saat itu. Tapi tetap saja, keberadaan Terry yang hilang terasa. Kalau korban keberadaannya saat itu terasa hilang, namun pelaku tidak, kemungkinan pelakunya adalah murid Convinient High School yang hawa keberadaannya tipis, atau tidak populer. Namun Dylan takkan terlalu menggunakan analisisnya ini, karena hanya sedikit persentasi kebenarannya. Terlalu menebak-nebak, ujarnya saat ditanya Seiji soal kepastian kemungkinan yang dia buat.
Seiji pun terpaksa tinggal sementara di Convinient High School membantu Dylan. Karena biasanya dia bisa menyelesaikan kasus dengan cepat, namun kali ini tidak. Pelakunya begitu bersih dan rapih saat melakukan pembunuhan. Selain kertas itu, Seiji juga sama seperti Dylan, tak menemukan apa-apa. Peter Brown juga sampai sekarang masih belum ketemu. Entah kenapa sejak saat itu, ia juga ikut menghilang.
Dylan yang frustasi karena merasa buntu di tengah jalan memutuskan untuk sedikit ‘refreshing’ ke perpustakaan. Ia ingat niat awalnya ke Convinient High School. Mencari tahu tentang ayahnya. Namun karena tak tahu letak perpustakaan, Dylan mengajak Lyla.
“Hey cepat!” seru Dylan dari luar kamar Lyla. Ia dari tadi menunggu Lyla.
Lyla berusaha cepat, ia ingin tampak rapi saat bersama Dylan.
“Udah cantik kok,” puji Gwen Chang, teman sekamarnya. Gwen bisa dibilang, satu-satunya teman yang Lyla punya sejak Nick dulu memutuskan melepas tali persahabatannya dengan Lyla.
Lyla mengangguk penuh rasa terima kasih pada Gwen. Ia dan Gwen keluar dari kamar menemui Dylan.
Dylan sekilas melihat Lyla yang berbeda saat itu. Lyla mengenakan sweater hijau muda dengan rok putih yang menggantung di lutut. Tampak manis saat ia mengenakan bando dengan warna senada. Namun ekspresi Dylan tak berubah sama sekali.
“Ayo cepat pergi,” ujar Dylan cuek.
Lyla merengut, ia ingat kalau Dylan bukan tipe orang yang menilai orang lain berdasarkan penampilan, melainkan berdasarkan isi otak. Lyla sadar ia tak masuk kualifikasi.
Saat Dylan hendak pergi, Gwen menahannya dengan memegangi lengannya, “Hey tunggu!”
“Apa?” tanya Dylan ketus. Ia menyingkirkan tangan Gwen kasar.
Gwen terlihat tak peduli dengan sikap Dylan, “Apa kau biasa tak menghargai orang lain seperti itu?”
“Maumu apa?” tanya Dylan malas.
Lyla berusaha menahan omongan Gwen, namun Gwen bersikeras memberikan omelan pada Dylan.
“Memangnya kau tak sadar, Lyla sudah berusaha tampil baik untukmu! Apa tak ada sesuatu yang ingin kau ucapkan padanya?”
Dylan lalu melihat Lyla yang tertunduk malu, ia memang menyadari Lyla tampil beda dan manis, “Buat apa kau rapih seperti itu?”
Lyla melongo. Gwen makin kesal.
“Kau ini minta dihajar ya!” seru Gwen.
“Aku kan cuma memintamu mengantarkanku ke perpustakaan, mengapa kau berdandan rapih seperti itu? Aneh...”
Lyla baru tahu kalau Dylan cuma mengajaknya ke perpustakaan. Ia langsung merasa malu pada dirinya sendiri dan merutuk dalam hati. Aduh... bodoh-bodoh-bodoh! Bisa-bisanya aku berpikir macam-macam. Ia baru tahu Dylan tak berubah sama sekali meski sudah lima tahun berjalan.
•••
“Dylan tunggu bentar,” pinta Lyla saat berusaha mengikuti kecepatan langkah kaki Dylan. Sia-sia.
“Habis ini belok kanan, kiri?” tanya Dylan saat mendekati persimpangan koridor.
“Kiri...” ujar Lyla.
Dylan langsung belok tanpa memperdulikan Lyla yang semakin kelelahan mengejarnya.
Lyla hampir berlari untuk mengejar, “Dylan, pelankan sedikit kak... Hmp!”
Seseorang membekap mulut Lyla dan menariknya. Dylan yang terus berjalan tak menyadarinya.
Di tengah perjalanan Dylan bertemu dengan Nick dan Seiji. Seiji melambaikan tangannya begitu melihat Dylan.
“Hai,” sapanya, “Aku mencarimu kemana-mana.”
“Ada apa?” tanya Dylan.
“Seusai permintaanmu aku memeriksa hubungan Terry Landstorm dengan Peter Brown dan hanya menemukan bahwa mereka tidak ada hubungan apa-apa kecuali pertemanan. Terry merupakan salah satu murid yang populer di bidang olahraga Rugby dan Peter populer di bidang Tennis,” jelas Seiji.
“Kau belum menemukan Peter?”
Seiji menggeleng sambil mendesah lemah, “Tidak. Para polisi juga sudah menggeledah semua tempat namun Peter belum ditemukan.”
“Kau mau kemana?” tanya Nick pada Dylan.
“Aku mau ke Perpustakaan.”
“Sendiri?”
“Tidak, aku bersama Lyla.”
“Lyla?” Nick terlihat semangat ia melongok ke belakang Dylan, “Mana dia?”
“Dia ada di belakang...” Dylan menoleh dan melihat lorong di belakangnya sepi, “Tadi dia ada di belakang.”
“Tapi mana?” tanya Nick lagi karena tak menemukan Lyla.
Dylan penasaran dan berjalan ke belokan yang ia lewati sebelumnya, “Kemana perginya anak itu.”
“Apa jangan-jangan...” Nick langsung berasumsi. Ia memandang Dylan lama.
“Sial...” desis Dylan pelan.
“““
Lyla didorong oleh Nicole ke tembok dan disudutkan di sana. Ia melihat Gaby dan Sharon, dua komplotan Nicole tersenyum mengejek ke arahnya.
“Kau merasa dirimu hebat heh?” tanya Nicole tajam, “Setelah kau melepas kacamata konyolmu itu kau merasa cantik iya?”
“Apa maumu Nicole?” tanya Lyla dingin.
“Aku mau melenyapkanmu,” ujar Nicole dengan nada yang pelan namun menusuk, “Kau bukan siapa-siapa. Kau hanyalah kutu tidak berguna yang mengganggu pemandanganku.”
“Aku bukan kutu tidak berguna!” bentak Lyla. Ia ingin pergi namun tangan Nicole mencengkramnya erat dan semakin menyudutkannya ke dinding.
“Ya, ya! Terserah apa katamu, tapi aku tak ingin melihatmu di dekat Dylan lagi! Kau bahkan tak istimewa sama sekali, jadi kenapa dia harus mau dekat-dekat denganmu. Kau juga sudah mempengaruhi Nick, cewek murahan. Kau bukan siapa-siapa! Kau hanyalah cewek asia cupu, dan pecundang bodoh!”
“Sebaiknya kau jaga mulutmu Nicole, atau aku...”
“Atau apa?!” seru Nicole keras seperti orang gila. Kini ia jadi terlihat seperti wanita cantik yang amat jahat, “Kau bisa apa hah?!”
“...Kau akan menyesal...” desis Lyla. Matanya menatap Nicole penuh kebencian.
Sedangkan mata Nicole merah karena marah. Ia menarik Lyla dengan kasar ke depan sebuah pintu besi besar, di dapur. Gaby dan Sharon membantunya jika Lyla berusaha memberontak.
“Kau hebat sekali bisa lolos dari ruangan dingin waktu itu,” ujar Nicole sinis. Ia membuka pintu besi itu. Langsung hawa yang super dingin terasa, “Namun kujamin kau takkan lolos dari kebekuan yang satu ini.”
Lyla yang menyadari tempat itu langsung berusaha berontak. Namun usahanya sia-sia saja karena Gaby dan Sharon sudah menahannya dan mendorongnya masuk ke dalam ruangan itu.
Begitu Lyla sudah berada di dalam ruangan berpintu besi itu Nicole langsung menutup pintunya dan meninggalkan Lyla di dalam.
“CARAMU GAK KREATIF!!!” seru Lyla dari dalam ruangan. Ia langsung menggigil.
“Diam kau!” bentak Nicole, “Aku sudah memutuskan akan menghukummu dengan rasa dingin maka aku akan melakukannya! Lagi, lagi, lagi!”
“Kau tak bisa menjatuhkanku dengan cara seperti ini!”
“Oh ya? Liat saja!” balas Nicole kemudian pergi dari tempat itu meninggalkan Lyla.
“““
Lyla mengelilingi ruangan yang isinya es semua itu. Ia tahu tempat ini, kulkas utama dapur Convinient High School. Ia heran darimana Nicole tahu kombinasi kode buat membuka pintu kulkas persediaan, hanya saja ia tak terlalu memperdulikan itu. Nicole bisa melakukan apa saja.
Ia bertanya-tanya kenapa mesti sekarang Nicole balas dendam kepadanya, kenapa tidak dari dulu saja karena cukup lama Nicole membiarkannya ‘bebas’. Namun saat menyadari alasannya ia memaki dalam hati.
Nicole sudah merencanakannya dari lama. Sekarang adalah hari dimana seluruh koki sekolah libur dan takkan ada yang memeriksa kulkas untuk waktu yang cukup panjang. Takkan ada yang menyadari keberadaannya di kulkas itu.
Hawa dingin semakin menusuk kulitnya. Serasa beribu-ribu jarum menusuknya bersamaan dan terus menerus. Ia lalu teringat Dylan dan bertanya dalam hati apakah Dylan menyadari kehilangan dirinya?
Ia lalu menggeleng cepat, tidak! Aku tak mau merepotkan dia lagi. Jangan dia yang menyelamatkanku! Dia pasti akan mengomel habis-habisan.
Maka Lyla memutuskan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ia berkeliling di dalam kulkas menggerakkan badan agar badannya tetap hangat. Dan ia lalu berlari-kari kecil sambil mencari pintu keluar.
Matanya saat itu tertuju pada sebuah bak seukuran bak kamar mandi yang ada di kulkas itu dan tersembunyi dibalik daging-daging yang menggantung. Tubuhnya seolah tertarik untuk mendekat. Saat cukup dekat ia melihat bak itu berisi air yang membeku. Namun matanya menemukan sesuatu lagi dibalik air beku itu. Itu....
“AAAAAAAaaaaaaaaa......!!!”
“““
“AAAAAAaaaaaaaaa......!!!”
Dylan tersentak. Ia baru saja akan mencari Lyla di gedung sayap kanan dan suara teriakan itu mengagetkannya. Hatinya mencelos, itu suara Lyla!
Tanpa pikir panjang lagi ia langsung berlari ke arah sumber suara. Hatinya diliput kecemasan. Suara Lyla yang sekarang tinggal sayup-sayup di telinganya membuatnya panik. Ia mengandalkan suara teriakan itu untuk menemukan Lyla.
Jangan berhenti berteriak Lyla, batinnya, jangan berhenti.
Suara itu menuntunnya ke arah dapur utama sekolah. Namun saat ia melangkah masuk suara itu berhenti.
“Lyla!”panggil Dylan. Ia berkeliling dapur yang sepi orang itu.
Namun tak ada yang menyahut.
“Lyla!!” panggil Dylan sekali lagi.
“Dylan....!”
Dylan tersentak. Seseorang memanggilnya dan itu pasti Lyla. Suaranya terdengar dari jarak yang cukup dekat.
“Lyla! Katakan kau dimana!” seru Dylan semakin mempercepat langkahnya mengelilingi dapur utama.
“A... aaaku... aaaku takut! Ce...cepat kemari! Aku takut di...disini!” balas suara itu.
“Katakan saja kau dimana!” teriak Dylan yang masih berusaha mencari sumber suara.
“Pin... pintu besi!”
Mata Dylan langsung mencari pintu besi yang dimaksud Lyla. Dengan cepat ia melihat ada satu pintu besi sebelah utara dapur. Buru-buru ia menghampiri pintu itu. Ia terbelalak menyadari ruangan apa yang ada dibalik pintu kulkas itu. i...ini kulkas?
“Lyla kau ada di dalam?!” teriak Dylan. Dalam hati ia berharap jawabannya ‘tidak’.
“Dy...dylan! Aku sa..sangat takut! Kumohon...cepat.. ke..kemari!” balas suara Lyla.
Dylan terkejut, Lyla benar-benar terkurung di dalam kulkas.
Ia memperhatikan pintu besi di hadapannya, tidak terkunci? “Lyla apa kau bisa keluar?”
“Tak bisa dibuka dari dalam...!”
Dylan langsung membuka pintu besi itu dan mendapati dugaannya benar, tempat ini adalah kulkas raksasa.
Begitu masuk ia melihat Lyla yang memojok gemetaran di sudut kulkas. Dylan segera melepas blazernya dan menyelimutkannya pada Lyla.
Saat itu, ada orang lain yang melihat mereka. Orang itu mengintip dari balik pintu besi dengan penuh kebencian. Ia lalu menutup pintu besi itu, dan mengunci Dylan dan Lyla di dalam.
“““
Nick dan Seiji tadinya berpencar mencari Lyla. Namun karena hasil pencarian mereka sama-sama nihil mereka pun bertemu lagi dan memutuskan mencarinya bersama-sama.
Saat di tengah perjalanan mereka bertemu Nicole dan komplotannya. Saat Nicole menyebut nama Lyla, Nick segera mengajak Seiji untuk bersembunyi. Seiji yang paham langsung bersembunyi dibelokan lorong sekolah dengan posisi yang strategis.
“Nicole apa kita tak kelewatan?” tanya Gaby. Ia terlihat cemas.
Nicole memasang wajah sebalnya, “Dia pantas menerima lebih dari yang ini, jadi jangan berpikir kalau kita sudah kelewatan memberinya pelajaran!”
“Tapi Nicole, kalau Lyla mati karena beku bagaimana?” Sharon juga mulai khawatir dan takut, “Kita pasti kena hukum.”
“Kan aku tak mengunci pintunya!” bentak Nicole yang kesal, “Kalian ini kenapa sih?! Kalau Lyla bodoh itu sadar, dia bisa keluar dari ruangan itu dengan mudah...”
“Ni...nicole,” Gaby kelihatan ketakutan mengatakan sesuatu, “Pintu itu tak bisa di buka dari dalam...”
Nicole langsung merasa takut. Namun ia berusaha menyembunyikannya, “Ya udah! Kalau kalian memihak si cewek pecundang itu dan ketakutan setengah mati, tinggal nanti malam kalian buka aja lagi pintunya beres kan?!”
Gaby dan Sharon tak berani menjawab. Mereka hanya manut saja dan mengikuti Nicole.
Ketika Nicole dan komplotannya pergi, Nick dan Seiji keluar dari persembunyian mereka. Seiji sebenarnya hendak menghampiri Nicole dan menanyainya namun ditahan oleh Nick.
“Percayalah, kau takkan mendapatkan apa-apa darinya. Dylan saja sudah kapok,” jelas Nick.
“Kenapa?”
“Karena dia adik kembarku! Aku tahu dengan pasti sifatnya, Dylan saja tak berhasil menginterogasinya dulu, kau mau mencoba juga?”
Seiji cuma terdiam. Dylan yang mengerikan dan selalu bisa membuat semua orang menuruti keinginannya dan menjawab pertanyaannya dikalahkan oleh seorang gadis SMA. Kurasa kalau aku menginterogasi gadis itu pun hanya membuang waktu saja.
“Jadi sekarang kita tahu, Lyla menghilang itu pasti kerjaan Nicole, tapi pertanyaannya dimana Lyla sekarang?”
Seiji memutar otak, “Tadi mereka menyebut mati karena beku. Pasti tempat yang dingin. Apakah ada tempat yang bersuhu dingin di sekolah ini?”
“Aha!” seru Nick seolah mendapatkan harta karun berharga, “Dulu Lyla disekap di tempat yang cukup dingin. Pasti Lyla disekap disana lagi...”
“Tidak,” bantah Seiji, “Jika aku jadi adikmu dan tak ingin ada orang yang menyelamatkan Lyla, aku takkan begitu bodoh sehingga menyekap Lyla di tempat yang sama dua kali.”
“Lalu dimana?” tanya Nick kecewa.
“Pasti ditempat yang jauh lebih dingin, cukup dingin untuk membuat orang mati beku,” jelas Seiji.
Nick lalu teringat pertanyaan Dylan pada Larry saat menyelamatkan Lyla dulu. Ia ingat Dylan menanyakan ruangan apa saja yang ada di sebelah utara. Dan Larry menyebut...
“Jangan-jangan...” perasaan Nick langsung tak enak.
“““
Dylan menendang pintu kulkas dari dalam dengan kesal, “Sial! Tidak bisa terbuka! Kenapa tiba-tiba bisa tertutup begini sih?!”
“Dylan...” panggil Lyla pelan, ia masih meringkuk gemetaran, “Da...daripada kau pikirkan itu, aa..ada sesuatu yang harus kau li...hat...”
Dylan menoleh dan melihat tangan Lyla menunjuk ke suatu tempat di dalam ruangan. Di tempat itu ada sebuah bak besar. Ia lalu mendekati bak itu.
Isinya air yang membeku, tapi tidak! Tidak hanya air yang membeku saja! Ada sesuatu di balik air itu, itu.... itu Peter Brown!

Wednesday, May 19, 2010

Nick dan Lyla baru hendak meninggalkan ruang makan saat tiba-tiba ruang makan itu menjadi sepi. Murid buru-buru keluar dari ruang makan dan berlari ke suatu tempat. Nick langsung menghentikan salah satu murid cowok.

Murid cowok itu tadinya sempat mau marah namun saat ia melihat siapa yang menghentikannya cowok itu mengurungkan niatnya.

“Hei ada apa?” tanya Nick.

“Itu, di koridor gedung sayap kiri ada murid yang terbunuh! Pelakunya juga sudah ketahuan. Itu, murid baru cowok, itu.... siapa ya namanya... Di.. dy.. Dylan! Iya Dylan!”

Nick dan Lyla berpandangan kaget.

“Tidak... tidak mungkin!” ujar Lyla.

“Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku mau lihat tempat kejadiannya,” sahut murid cowok itu langsung pergi.




Dylan duduk menunggu dengan bosan di ruangan kepala sekolah. Ia dijadikan tersangka atas pembunuhan yang terjadi barusan. Ia tak peduli, bahkan tak merasa harus repot panjang lebar menjelaskan pada orang dihadapannya. Justru ia menginginkan hal ini. Orang itu, kepala sekolah, yang sedari tadi hanya diam menyeruput tehnya, sudah memanggil polisi. Ketika polisi menangkapnya, ia pasti dibawa ke kantor pusat untuk di mintai penjelasan. Setelah itu ia akan diberi kesempatan menelepon, dan bukan Mom yang akan ia telepon—bisa-bisa Mom jatuh pingsan kalau disuruh ke kantor polisi—melainkan Seiji. Setelah mendapat jaminan dari Seiji, ia akan menginap di kantornya, atau rumah Seiji, dan pura-pura masih ada di penjara. Mom sampai kapanpun takkan berani datang ke kantor polisi, paling-paling hanya menyiapkan pengacara. Ketika segala tetek bengek urusan hukum sudah selesai disiapkan Mom dan Pengacaranya, ta-da! Ia sudah tiba di rumah dan tinggal mengatakan bahwa ia dikeluarkan dari sekolah. Mom takkan bisa memaksanya lagi. Rencana yang matang yang sudah Dylan siapkan dari tadi ketika ia melihat Mr. Jenkins berlari ketakutan darinya.

Dylan hanya memandangi Kepala Sekolah yang masih menyeruput teh-nya sedikit demi sedikit dan terus menerus menambahkan gula. Menyeruput lagi, menggelengkan kepala tampak kurang puas, dan kembali memasukkan bersendok-sendok gula. Dylan bahkan sampai bertaruh orang dihadapannya ini takkan hidup lama, pasti cepat mati karena diabetes.

Sementara ia tenang-tenang saja, di luar ruangan Kepala Sekolah terjadi keributan. Asisten Kepala Sekolah masuk dan menjelaskan.

“Sir, di luar ada dua orang murid yang memaksa masuk. Mereka mengatakan bahwa mereka yakin bukan Dylan McMillan lah pelakunya...”

Dylan menoleh ke arah si asisten heran. Siapa yang hendak merusak rencana besarku?
“Suruh kedua murid itu masuk,” suruh Kepala Sekolah.

Tak lama kemudian bertambah dua orang lagi di ruangan itu, dan mereka sangat Dylan kenal.

Lyla? Dan Nick? Buat apa mereka kesini?

“Maaf Kepala Sekolah, bukan dia pelakunya,” jelas Lyla. Ia terlihat ngos-ngosan, seperti habis terburu-buru.

Kepala Sekolah itu memandangi Lyla tajam, “Apa buktinya?”

Lyla terdiam sebentar. Ia memandangi Dylan yang membalasnya dengan tatapan mencela kemudian kembali menatap Kepala Sekolah, “Aku sudah mengenalnya sangat lama, Sir. Dia tak mungkin melakukan hal itu...”

Dylan hampir tak percaya dengan jawaban Lyla. Dasar bodoh! Hal itu mana bisa dijadikan bukti.

“Kalau begitu siapa pelakunya?” tanya Kepala Sekolah lagi.

“Pasti orang lain! Yang jelas bukan dia!” tegas Lyla.

Dylan geleng-geleng kepala. Kalau dirinya memang jadi pembunuh, dan membutuhkan saksi, ia takkan pernah mau menunjuk Lyla.

Kepala Sekolah itu memandangi Lyla lama, “Namamu siapa?”

“Lyla William...”

“Baiklah Miss. William, anda tahu apa yang menyebabkan pemuda ini jadi tersangka?”
Lyla membisu. Ia sendiri memang tak tahu kenapa tiba-tiba Dylan dijadikan tersangka.

“McMillan ini ada di TKP, dan sedang berada tepat disamping korban yang berlumuran darah dan perut sobek,” jelas Kepala Sekolah, “Dan dia sepertinya tak lari ketakutan atau terlihat terkejut seperti remaja normal lainnya bahkan menurut keterangan saksi—Mr. Jenkins—ia hendak menyentuh korban tersebut. Apakah itu tidak terdengar aneh?”

Lyla bingung, memang terdengar aneh. Amat sangat aneh. Kalau dirinya yang menemukan mayat tebujur kaku itu, dia pasti sudah gemetaran dan lari ketakutan. Tapi Dylan tidak.

“Tentu saja, Sir,” Nick menimpali. Ia satu-satunya orang di ruangan tersebut yang memahami tindakan Dylan, “Dylan bukan orang yang akan ketakutan karena melihat mayat karena dia...”

Nick hendak melanjutkan ucapannya namun dihentikan oleh pelototan mata Dylan.
“Kenapa Nick?” tanya Kepala Sekolah.

“Karena dia anggota FBI, Sir,” lanjut Nick tanpa memperdulikan tatapan Dylan yang seolah ingin menelannya hidup-hidup.

Untuk beberapa saat ruangan hening. Kepala Sekolah itu kembali menyeruput tehnya menganggu keheningan. Dylan memaki dalam hati.

Hhh... dasar bodoh...

“Nick...” Kepala Sekolah membuka suara, “Aku selalu mempercayaimu karena kau Ketua Murid yang cukup berprestasi. Namun, kau berharap aku mempercayai ceritamu yang satu ini? Bahwa anak remaja SMU yang sedang duduk di hadapanku ini adalah seorang anggota FBI?”

“Tapi, Sir, aku sungguh-sungguh!”

“Nick, jangan hilangkan kepercayaanku padamu. Kau sudah memberikan keterangan palsu untuk menyelamatkan seorang tersangka, kau juga bisa terjerat hukum.”

Nick beralih ke Dylan, “Hei jangan diam saja! Katakan kau buka pembunuhnya! Tunjukkan lencanamu!”

Dylan terus menggerutu dalam hati kesal, aku justru ingin mengatakan bahwa akulah pelakunya agar aku bisa segera pergi dari tempat ini. Namun jika aku melakukannya aku pasti akan kena masalah, dan takkan bisa lolos begitu saja dari Kantor Polisi, meskipun statusku adalah Anggota FBI dengan level yang lumayan tinggi. Dengan malas Dylan mengeluarkan lencananya dari dompet dan menunjukkannya pada Kepala Sekolah.

Kepala Sekolah itu bahkan tak memandang lencananya lebih dari lima detik kemudian kembali menatap Nick dengan tatapan yang menyebalkan, “Nick, tadinya aku berharap kau takkan mengecewakanku. Tapi rupanya darah kriminal Ibumu sangat kental di tubuhmu sehingga kau membantu pemuda ini memalsukan lencana. Sayang sekali Nick, kau pun tampaknya harus ikut petugas polisi untuk dimintai keterangan. Aku sangat berharap, kau bisa lolos dari jeruji.”

Sepertinya kali ini Nick mulai marah. Tangannya mengepal erat begitu mendengar ibunya disebut. Dylan pun mulai gusar, ia tak suka jika ada orang lain terlibat masalahnya. Sementara Lyla hanya bingung mencerna apa yang terjadi. Dylan anggota FBI?

Asisten Kepala Sekolah masuk dan mengatakan para Polisi sudah tiba. Dan Kepala Sekolah diminta untuk menyambut kedatangan mereka.

Kepala Sekolah itu berdiri dari kursinya dan keluar dengan lagak menjengkelkan. Meninggalkan Dylan, Lyla, Nick di ruangan yang kemudian langsung dikunci setelah ia keluar.

“Katakan padaku kalau kau tak membunuh murid itu!” seru Nick.

“Aku tak membunuhnya,” jawab Dylan singkat.

“Kau bisa membuatku masuk penjara kalau kau ternyata membunuhnya. Kenapa kau tidak melawan heh? Bilang alasan apa, alibi apa...”

“Aku tak memintamu terlibat,” sahut Dylan ketus, “Dan aku juga tak memiliki alibi apapun. Jika aku jadi saksi itu, aku pasti terlihat jelas sebagai tersangka yang sedang ketangkap basah.”

“Jadi kau pembunuhnya?” tanya Lyla takut.

“Sudah kubilang bukan!” balas Dylan kesal.

“Lalu bagaimana denganku? Aku tak mau masuk penjara! Kau kan anggota FBI, kau pasti bisa meyakinkan polisi-polisi itu, dan menjaminku kan?” Nick makin terlihat panik.
“Sayangnya tidak semudah itu. Hanya anggota FBI yang selevel denganku atau di atasku lah yang mengenalku,” jelas Dylan.

Nick menghadap tembok dan membenamkan wajahnya disana sambil memukul-mukul kepalannya, “Sial... sial...”

Semua tenggelam dalam kefrustasian sampai terdengar suara pintu terbuka. Para polisi itu telah tiba.

“Kami sudah menahannya disini, tuan-tuan...” suara Kepala Sekolah itu ketika melangkah masuk ke ruangannya.

Dylan memandangi langit-langit ruangan kesal. Ia tak bisa menjalankan rencananya kalau ada pemuda tanggung yang harus ikut tertangkap bersamanya.

“Hei, Dylan!” tiba-tiba ada suara yang terasa familier di telinga Dylan.
Dylan menoleh. Seorang pemuda asia, jangkung, mengenakan T-Shirt putih ditutupi jaket bertuliskan FBI di belakangnya, datang menghampirinya dengan seringai lebar di wajahnya, “Seiji?”

“Aku tak menyangka kau bisa kena masalah di sekolah barumu...” ujar Seiji akrab langsung menepuk bahu Dylan.

“Sedang apa kau disini?!” bentak Dylan.

“Menyelamatkanmu, apa kau tak lihat?” jawab Seiji masih dengan senyuman lebar.
“Aku sedang melihat kau melalaikan tugasmu!” balas Dylan tajam.

“Tunggu... tunggu....” sela Kepala Sekolah kebingungan. Ia tadi mendatangkan polisi untuk menangkap tersangka, tapi polisi itu malah mengobrol akrab dengan tersangkanya? “Ada apa ini? Kalian saling mengenal?”

Seiji merangkul erat Dylan dan menatap Kepala Sekolah, “Tentu saja! Dia ini atasanku di FBI!”



“Hahahaha....” Nick terus saja tertawa sepanjang jalan koridor dari ruangan Kepala Sekolah. Ia bahkan langsung terpingkal-pingkal saat keluar dari ruangan.

“Hentikan tawamu itu Nick!” perintah Dylan.

“Sorry... sorry..., aku masih tak sanggup menahan tawa saat melihat ekspresi Kepala Sekolah saat dia tau kau benar-benar anggota FBI!” ujarnya sambil memegangi perut karena kebanyakan ketawa.

“Sudahlah, biar saja dia tertawa,” sahut Seiji, “Aku juga lucu waktu melihat tampangmu yang sebal itu.”

“Oh, thanks,” balas Dylan dongkol, “Bagaimana kau bisa kesini, hah? Kau sudah merusak rencanaku tau!”

“Rencana apa?” sergah Seiji, “Aku hanya bosan di kantor, juga malas pulang ke rumah. Yi Jae sedang di rumah orang tuanya, jadi rumah kosong. Lalu karena sepi kasus, aku mengecek line kasusnya polisi dan menemukan kasus di sekolahmu. Namamu juga disebut, pasti bakal menarik, jadi aku ikut saja.”

“Profesional sekali,” sindir Dylan, “Aku pasti sudah keluar dari sekolah ini dan kembali ke kantor kalau kau tak menggagalkannya.”

“Oh! Jadi itu rencananya?!” seru Seiji kaget.

“Ya, dan dengan begini berarti kau masih setahun lagi menjabat di FBI, selamat,” Dylan tak menghilangkan nada sarkatis dalam suaranya.

“Tapi masa kau sampai membunuh orang untuk rencanamu itu,” Seiji masih tak percaya.

“Tentu saja tidak!” bentak Dylan kesal dengan pikiran Seiji, “Itu benar-benar kebetulan tau! Aku hanya jadi saksi pertama, dan kebetulan jadi tersangka.”

“Ow...” Seiji manut-manut, “Tak heran sih dengan wajah kriminalmu itu...”

Dylan rasanya ingin meninju partnernya ini saking sebalnya. Tapi Seiji sudah beralih menatap Lyla yang sedari tadi terdiam dan hanya jalan di belakang mereka.

“Jadi dia ini tunanganmu yang ‘sering’ kamu ceritakan itu, Dylan,” ujar Seiji, “Manis juga.”

Dylan semakin gatal saja ingin meninju Seiji. Bisa-bisanya dia bilang kalau ia sering membicarakan Lyla. Benar-benar menjatuhkan harga diri.

“Annyonghaseyo...” sapa Seiji ke Lyla dengan bahasa korea.

“A... annyong...” balas Lyla gugup. Ia tak pernah bicara dengan anggota FBI seperti Seiji, dan sekarang ia tahu kenyataan bahwa Dylan juga anggota FBI.

“Darahmu korea ya?” tanya Seiji ramah.

Lyla mengangguk.

“Istriku juga orang Korea, tapi dia Korea tulen,” ujar Seiji sambil tersenyum, “Kuharap kau tahan dengan kelakuan Dylan.”

Dylan memelototi Seiji kesal. Sebelum Seiji semakin menggoda Lyla, ia segera menyuruh Lyla kembali ke kamarnya, “Kembalilah ke kamar.”

Lyla mengangguk. Ia dan Nick hendak kembali ke asrama, namun Dylan menghentikan Nick.

“Hei kamu punya tugas,” ujar Dylan.

“Tugas apa? Aku akan mengantarkan Lyla lebih dulu ke kamarnya, setelah itu baru menjalankan tugas darimu. Masa kau tega membiarkan dia berjalan sendirian di koridor sekolah malam-malam sementara ada pembunuh berkeliaran?” jawab Nick.

Aku lebih tak percaya kau! Batin Dylan, “Ya sudah. Setelah itu kau suruh beberapa murid lain yang bisa dipercaya, untuk berkeliling sekolah. Cari orang yang mencurigakan, sebelumnya suruh Mr. Jenkins menutup semua jalan keluar dari sekolah ini. Kau dan Murid lain kuminta mengkondisikan murid-murid untuk berada di asrama tanpa ada satupun yang berjalan di koridor, paham?”

Nick mengangguk paham. Ia dan Lyla kemudian berjalan lebih dulu ke asrama.
“Kau benar-benar mengkhawatirkan kasus ini ya?” tanya Seiji ketika Nick dan Lyla sudah hilang dari pandangan.

“Hmm, sudah terlanjur, jadi kita selesaikan saja kasus ini. Lagipula aku punya firasat buruk.”

“Firasat buruk?”

“Ya, aku seperti merasa sepertinya ini bakal ada kelanjutannya. Seperti kasus ini tak sampai disini saja.”



Di TKP sudah dikerubungi beberapa murid-murid dengan kepala penasaran. Mereka mengerubungi tempat itu seperti semut mengerubungi gula. Berbisik-bisik tentang apa yang terjadi, bahkan sedikit demi sedikit menyebut nama Dylan.

“Kau tahu kan, ternyata anak baru itu sanggup ya melakukan hal keji kayak gini...”
“Anak baru yang mana sih?”

“Itu lho, yang kemarin melabrak Nicole.”

“Ah masa? Wajahnya terlihat manis ah, tidak ada tampang pembunuh...”

“Hey, Mr. Jenkins sendiri yang cerita kalau dia melihat sendiri anak baru itu, siapa ya namanya, Dylan! Iya Dylan yang membunuh Terry.”

“Tapi kok bisa? Aku benar-benar tak sangka.”

“Makanya jangan melihat orang dari tampang luarnya saja. Meski wajahnya tampan begitu ternyata hatinya kejam. Waktu dia melabrak Nicole juga terlihat menyeramkan...”

“Aku melihatnya! Aku juga bergidik saat melihat matanya yang seram saat itu...”
“Tuh benar kan...”

Dylan yang sedari tadi sudah sampai di TKP cuma melipat wajahnya kesal mendengar semua perkataan itu. Seiji menepuk bahunya bermaksud menghibur, tapi takkan berhasil. Dylan langsung menerobos kerumunan.

“Apa-apaan ini?!” serunya, “Kenapa semua berkumpul disini! Cepat kembali ke asrama masing-masing!”

“Hey, terserah kami dong mau disini apa tidak, siapa kau menyuruh-nyuruh kami?!” balas seorang murid cowok. Namun saat dia melihat lagi siapa yang ada dihadapannya dia membelalakkan matanya, “Kau.... kau kan anak baru itu...!”

Dylan mendengus sebal, “Ya, ada masalah? Kau mau kucincang-cincang tubuhnya jadi lima belas bagian?”

Murid itu jelas-jelas tak menjawab. Dylan cuma membuang muka dan menuju ke tengah TKP. Seiji langsung meminta persetujuan Dylan untuk mengklarifikasi status Dylan.
“Terserah,” jawab Dylan dingin.

Seiji mengambil posisi yang paling strategis agar kelihatan semua murid yang mengumpul, lalu mulai angkat bicara dengan suara lantang, “Selamat Malam, saya Seiji Amano dari FBI, mohon perhatiannya.”

Semua kasak-kusuk begitu mendengar FBI disebutkan.

“Pertama-tama, saya ingin mengklarifikasi kasus ini. Kami menemukan bahwa bukan saudara Dylan McMillan-lah pelaku dari insiden ini...”

Bisik-bisik itu terdengar lebih ribut lagi dari sebelumnya.

“Karena itu, kami mohon kerja samanya dari kawan-kawan sekalian. Karena pembunuh sebenarnya masih berkeliaran, dimohon saudara-saudara segera kembali ke asrama masing-masing.”

Semua pun beranjak pergi dari tempat sambil meneruskan perbincangan, dan gosip. Namun sempat ada satu pertanyaan dari murid-murid itu yang tertangkap di telinga Dylan.

“Kalau begitu, buat apa anak baru itu ada di TKP?”

Dylan tak mempedulikan pertanyaan dari orang yang menurutnya tak tahu apa-apa itu. Ia berusaha memfokuskan diri ke kasus. Saat itu ada seorang polisi yang menegurnya saat ia mencoba memeriksa satu persatu barang bukti.

“Tenang saja, kalian jangan mengganggunya. Dia partnerku di kasus ini,” jelas Seiji, “Dia juga punya posisi di FBI. Aku membutuhkannya.”

Polisi itu sepertinya tak percaya, namun Seiji terlihat tampak serius ketika mulai berbicara dengan Dylan mengenai kasus.

“Kau mencari ini ya?” tanya Seiji yang menyodorkan sebuah kantong plastik bukti. Di dalamnya terdapat sebuah gumpalan kertas coklat, “Ini ada di mulut mayat.”

Setelah mengenakan sarung tangan, Dylan merogoh kantung itu untuk mengambil gumpalan kertas, “Kau sudah membacanya?”

Seiji menggeleng, “Belum.”

Dylan lalu membuka gumpalan kertas itu, dia yakin ada sesuatu yang tertulis di situ. Dan memang benar, ada sesuatu yang tertulis disitu. Namun sesuatu yang Dylan tak mengerti.

“Apa ini?”

Seiji melongok ke dalam kertas. Seperti sebuah sandi, namun dibandingkan Dylan, Seiji merasa sedikit mengenalinya, “Kurasa aku tahu itu..., itu tulisan hangul...”

“Hangul?”

“Iya, Hangul. Bahasa korea, bahasa tanah kelahiran istriku. Aku bisa membacanya sedikit..., masa kau tak tahu?”

“Aku tak tahu,” ujar Dylan masam.

Seiji terlihat tak percaya, “Kau tak tahu?! Kau paham berbagai macam bahasa, Arab, Latin, Ibrani, Mandarin, Prancis, Spanish, Japanese, Melayu, bahkan Tagalog... dan kau mengaku masih banyak lagi bahasa yang kau pahami namun kau tak bisa bahasa Korea?! Apa-apaan kau ini?!”

“Soalnya itu juga bahasa Lyla,” Dylan menjelaskan dengan suara pelan. Ia kelihatan malu, “Apapun yang Lyla bisa, meski itu cuma 1%, entah kenapa itu menjadi hal-hal yang tak bisa kukuasai.”

Seiji bingung harus menyahut dengan ucapan apa. Ia tak menyangka ada hal-hal yang tak bisa dikuasai makhluk jenius di hadapannya ini.

“Dari pada mempermasalahkan hal itu lebih baik kau segera terangkan padaku apa ini,” kata Dylan yang berusaha menekan rasa malunya, “Katanya kau mengerti bahasa ini kan? Cepat terangkan padaku!”

Seiji segera beralih ke kertas itu, “Ini tulisannya, Phitee Burowen....”

“Phitee Burowen? Apa artinya itu?”

“Ini nama orang, Dylan. Namun karena ditulis dengan hangul maka namanya dibaca berbeda...”

“Aku mengerti itu! Cepat katakan padaku, nama siapa ini?”

“Kalau bahasa Inggrisnya, ini berarti Peter Brown. Tertulis disini nama Peter Brown.”

Kemudian tiba-tiba terdengar suara berisik dari balik tikungan koridor. Seorang murid rupanya belum kembali ke kamarnya, ia keluar dari persembunyiannya panik.
“BUKAN AKU!” seru cowok itu, “BUKAN AKU PELAKUNYA!”

“Kaukah Peter Brown?” tanya Dylan tajam.

“TAPI BUKAN AKU PELAKUNYA! AKU TAK MEMBUNUHNYA! AKU TAK MEMBUNUH TERRY!”

“Seseorang tangkap dia!” seru seorang polisi. Dylan menyesalkan tindakan polisi itu, karena dengan begitu cowok terduga Peter Brown itu langsung kabur dari tempat, dan menghilang dari balik tikungan dengan panik dan pucat.

“Kejar dia cepat!” perintah Dylan.

Beberapa polisi langsung mengejar cowok itu. Mereka pun menghilang dari balik tikungan koridor.

“Kau pasti satu pikiran denganku,” desis Seiji kepada Dylan.

“Hm, aku memang merasa bukan Pemuda itu pembunuhnya. Wajahnya benar-benar kelihatan panik, namun bukan panik seperti pelaku yang tertangkap basah. Dia bahkan berani menghampiri kita untuk mengatakan bukan dialah pelakunya, seorang pelaku kejahatan takkan ada yang berani melakukan itu,” kata Dylan.

“Dan kertas gumpalan itu, aneh. Tak mungkin ada orang yang mau mati memasukkan kertas isi sandi nama pelaku ke mulutnya. Terlalu riskan dan pasti akan segera ketahuan si pelaku.”

“Ya, itu pasti perbuatan pelakunya sendiri. Tapi kurasa dia cukup pintar untuk tidak menjebak orang lain dengan gumpalan kertas di dalam mulut, tampaknya nama Peter Brown adalah suatu pesan. Pesan buat siapapun yang menemukan mayat itu, itu berarti aku. Aku khawatir nama itu seperti sebuah...”

“Peringatan?” Seiji menebak apa yang ada di pikiran Dylan.

“Ya, seperti sebuah ancaman, seolah-olah... Peter Brown adalah...,” Dylan menunjukkan wajah cemasnya, “Calon korban berikutnya.”

