Achieving the Dream Alongside of You

Tuesday, November 30, 2010


Rifki dan Seiji dengan tegang menunggu di belakang Dylan yang sedang sibuk menyambungkan monitor-monitornya dengan alat pelacak Stiker Saraf. Belum ada reaksi sejauh ini.
“Dylan, mungkin dia sudah menyadari keberadaan stiker saraf milikmu,” ucap Seiji.
“Jika dia sudah sadar, harusnya dia memilih untuk membunuhku duluan, bukan Lyla,” jawab Dylan masih sibuk dengan alat-alatnya.
“Aku masih tak berpikir kau menempelkan benda itu ke tubuhnya,” ujar Seiji.
“Aku sendiri juga masih tak menyangka,” sahut Dylan. Akhirnya ia berhasil menyalakan alat pelacaknya. Tiba-tiba alat pelacaknya berbunyi, “Ketemu dia!”
Seiji dan Rifki menengok dengan penasaran.
“Koordinatnya dari sini adalah 15 m, sebelah barat daya, 23 m di bawah kita. Berarti orang itu sedang berada di lantai bawah,” ujar Rifki yang membaca alat pelacak Dylan.
Seiji mengeluarkan denah sekolah yang dibuat oleh staf FBI dengan sangat akurat, “Berarti menurut perhitungan, dia ada di.... sini!”
“Tempat apa itu?” tanya Rifki.
“Ya, aneh, bukannya itu dekat dengan kamar Nicole yang lama? Namun disini itu dinding! Tak ada pintu apapun disitu...” tambah Seiji.
Dylan menatap peta dan alat pelacaknya bergantian, “Koordinatnya benar kok. Tapi kenapa seperti sedang mengatakan kalau orang itu sedang berada di dalam dinding?”
“Apa mungkin itu adalah ruang rahasia?” ucap Rifki.
Seiji dan Dylan berpandangan.
“Benar juga,” pikir Dylan, “Seharusnya, jika ia dan Lyla sama-sama mengenakan stiker saraf, ada dua kamera yang rusak bersamaan. Namun hanya kamera yang terkena gelombang stiker saraf milik Lyla saja yang rusak. Orang itu pasti berada di tempat yang tersembunyi yang tak kupasangi kamera.”
“Kita sepertinya harus menyergapnya disana,” usul Seiji.
“Jangan!” seru Rifki yang seorang mata-mata dan sudah ahli mengenai sergap-menyergap, “Kita tak mengetahui kondisi di ruangan itu. Melihatnya mondar-mandir di alat pelacak itu, sepertinya ruangan tersembunyi itu adalah ruangan yang cukup luas. Hanya dia yang tahu isi ruangan itu, mungkin ada banyak senjata, mungkin ada bom, kita tak tahu. Bisa-bisa kita membahayakan seluruh murid.”
“Kau benar,” ucap Dylan, “Kita harus bisa memancingnya keluar.”
“Tapi sebelumnya kita harus mengevakuasi seluruh murid,” ujar Seiji, “Jika terjadi baku tembak, kita harus meminimalisir jumlah korban.”
“Kalau bisa, evakuasinya berlangsung secepat dan setenang mungkin,” tambah Rifki, “Sebisa mungkin, pembunuh itu masih berada di dalam ruang persembunyiannya saat kita mengevakuasi murid. Jika ketahuan, gagal.”
“Dia bisa menyandera seorang murid jika identitasnya diketahui, karena itu, kupikir, kita manfaatkan keberadaannya yang masih berada di dalam ruangan itu.”
“Tapi kita tak tahu sampai kapan ia berada di dalam ruangan itu.”
“Kita harus memancingnya masuk ke ruangan persembunyiannya dalam waktu yang cukup lama.”
“Aku tahu apa yang akan kulakukan untuk memancingnya masuk, lalu keluar dari ruangan itu.”
“Bagus. Tapi ada satu masalah lagi,” ujar Rifki.
“Apa?” tanya Dylan.
“Bagaimana kalau dia memiliki sekutu? Selama ini kita berpikir kalau dia setipe Jack The Ripper yang bekerja sendiri. Mungkin dia juga memiliki teman. Kita hanya bisa melacak keberadaan dia saja, belum tentu dengan sekutunya yang lain. Kalau sekutunya memberitahu masalah evakuasi padanya, akan sia-sia saja usaha kita.”
“Yah, itu juga harus dipikirkan.”
Dylan menggeleng, “Aku punya insting dia hanya sendiri. Aku yakin. Kali ini kita bertaruh pada instingku.”
©©©
Dylan mengeluarkan sebuah koper dari kolong kasurnya. Pas dibuka, terlihat sebuah benda yang selalu ia bawa kemana-mana. Bukan laptop. Melainkan sebuah pistol semi-otomatis lengkap dengan sekotak peluru dan alat peredam suaranya.
Tak pernah menyangka akhirnya aku akan benar-benar menggunakan benda ini, pikirnya tapi tanpa ini, Lyla akan terus terancam hidupnya.
Di sampingnya Rifki juga mengeluarkan pistol mini kesayangannya. Ia menaruhnya di sabuk pistol yang terpasang di dekat mata kakinya. Senjata utamanya adalah sebuah senapan sedang yang bisa mengeluarkan banyak peluru.
Dylan memakai rompi anti peluru, meski belum tentu si pembunuh memiliki pistol, namun dilihat dari kesiapannya di setiap kasus, itu sangat mungkin. Rifki juga tak melupakan rompi anti peluru miliknya.
Mereka berdua sudah sangat siap dengan segala kemungkinan yang terjadi dan bertaruh dengan rencana mereka.
Seiji datang dengan pakaian yang tak kalah siap, pistol dipinggang, rompi anti peluru, “Pasukan khusus sudah siap. Aku sudah meminta mereka datang dengan diam-diam dan tak mencolok. Sekarang tinggal memancingnya masuk ke tempat persembunyiannya baru kita bisa mengevakuasi murid.”
Dylan memandang Rifki.
“Baik, aku akan segera melakukannya,” ujar Rifki yang mengeluarkan stel penyamarannya. Baju seragam.
©©©
Lyla baru saja kembali dari ruang Mrs. Linda. Ia disuruh melakukan revisi ulang pada naskah. Sebenarnya Mrs. Linda memberikan keringanan padanya agar tak melakukannya sekarang, tapi Lyla ingin memiliki kegiatan yang bisa menyibukkan pikirannya. Lagipula, ia bosan, hanya diam bersama dua orang FBI yang seperti patung dan mengekorinya terus.
Begitu ia kembali ke kamar ia membuka-buka lagi naskah yang harus direvisi, namun secarik kertas jatuh dari dalam naskah itu.
Kau tahu dengan pasti kan, Nick sekarat karena dirimu. Kalau kau ingin membalas kesalahanmu, datanglah ke lantai 3 sendirian nanti sore jam 6. Jangan ada FBI atau polisi, atau akan kubuat temanmu dan tunanganmu bernasib sama dengan Ketua Murid yang sedang meregang nyawa itu. Oh ya, aku juga akan memberitahukan kenapa kau tinggal sendirian di dunia ini, dan kenapa keluargamu dibunuh. Jadi datanglah! Jangan sampai ada lagi yang kerepotan dan terluka hanya karena dirimu lagi.
Lyla menggenggam kertas itu dengan gemetaran, ayah? Ibu? Kevin?
©©©
Seseorang sedang menikmati puding makan siangnya dengan lahap dan nikmat. Ia tersenyum dalam hati. Gadis itu akan kuhabisi malam ini! Pikirnya. Semuanya akan berjalan lancar. Jangan sampai ada FBI pengganggu yang mengacaukan rencanaku. Anak ayam kecil itu akan berjalan sendiri menemui sang musang.
Moodnya sangat baik sampai datang seorang murid yang berteriak-teriak heboh di ruang makan.
”Kalian sudah dengar?! Nicole sudah sadarkan diri tadi pagi!” teriak murid cowok itu.
Orang itu tersentak. Ia menggenggam sendok pudingnya geram. Hampir saja ia lempar jika takkan menyulut perhatian. Cewek sialan itu sudah sadar?! Harusnya aku sudah membunuhnya dengan racun! Bagaimana bisa dia sadarkan secepat itu? Cewek itu bisa buka mulut tentang siapa yang sudah memberinya racun!
“...FBI sudah datang ke rumah sakit tempat Nicole dirawat! Katanya Nicole sudah siap ditanyai! Sebentar lagi pelakunya terungkap dan tertangkap!” seru murid cowok berkacamata itu heboh, “Sekolah ini tak jadi diliburkan!”
“Huuuuuu!” teriak seluruh murid yang kecewa.
Sementara ada juga orang yang kecewa dengan lebih parah. Ia menghentakkan sendoknya ke puding yang sedang ia makan. Harus membuat rencana ulang. Ia tak ingin Nicole buka mulut, jadi ia harus menyiapkan rencana untuk ke london dan membunuh gadis itu, tapi ia juga tak mau batal menjebak Lyla. Ia pun pergi dari ruang makan.
©©©
Rifki yang tugasnya berhasil membuat semua murid heboh dengan memberitahukan berita palsu mengenai Nicole melihat dari sudut matanya seseorang yang menjadi misinya kali ini. Orang itu pergi dengan marah dari ruang makan.
Dengan cepat Rifki menghubungi Seiji, “Pelaku sudah memakan pancingan dengan baik. Laksanakan evakuasi segera!”
Tak lama, ruang makan tiba-tiba dipenuhi oleh satu tim khusus yang berseragam hitam-hitam dan bersenjata lengkap. Murid-murid ternganga.
Seiji masuk dengan seragam yang sama. Ia menghampiri Rifki yang melepaskan penyamarannya di depan semua murid, membuat lebih banyak murid yang lebih terkaget-kaget lagi.
“Aku akan mengikutinya, memastikan ia tak memiliki sekutu, juga memastikan ia kembali ke tempat persembunyiannya tanpa mengetahui ada evakuasi,” bisik Rifki di telinga Seiji.
“Ya, lakukan!” perintah Seiji.
Rifki pun menghilang dengan cepat keluar dari ruang makan.
Sementara Seiji segera mengondisikan murid-murid agar mau dievakuasi dengan tenang.
©©©
Rifki berjalan pelan mengikuti orang yang tak disangka olehnya akan melakukan semua pembunuhan itu. Kemampuan mata-matanya yang bisa membuatnya ‘tak terlihat’ sangat dia andalkan saat ini. Dalam hatinya ia terus menggerutu kesal, aku kan berencana liburan. Orang jepang brengsek! Membohongiku kalau akan ada kasus mudah...
Orang itu berbelok. Ia nampaknya tak menyadari keberadaan Rifki yang tak jauh dibelakangnya. Rifki juga lega, orang itu tampaknya tak menyadari kalau diadakan evakuasi besar-besaran di sekolah ini. Berarti ia tak memiliki sekutu.
Rifki masih mengikuti orang itu sampai orang itu berdiri di sebuah lukisan yang besar seukuran jendela. Ternyata itu bukan sekadar lukisan! Lukisan itu bisa membuka dan dibaliknya ada sebuah pintu yang bisa didorong. Orang itu menghilang ke balik lukisan. Rifki tak berniat mengikutinya. Di dalam situ pasti banyak benda yang harusnya berhasil ditemukan oleh tim FBI nya Dylan dan Seiji sebagai barang bukti. Samurai yang dipakai untuk menyayat Terry Landstorm, Garam untuk membekukan Peter Brown, juga Kalium Sianida untuk meracuni Nicole Jhonshon. Mungkin juga disana ada sebuah kunci mobil Chevrolet perak yang salah tabrak.
Ia menghentikan penguntitan dan segera menghubungi Dylan dan Seiji, “Beruang itu sudah kembali ke sarangnya.”
©©©
Lyla menengok ke arah dua anggota FBI yang diperintahkan untuk menjaganya. Mustahil kabur dari mereka. Ia diam di kasurnya berputar otak untuk mencari akal.
Seorang anggota yang diketahui Lyla bernama Homer menghampirinya, “Anda akan segera dievakuasi juga, harap mengikuti kami.”
Lyla menurut saja. Ia bersama Homer dan teman FBI yang satunya lagi, yang diketahui Lyla bernama Simon, berjalan keluar dari kamarnya. Lyla semakin mencari cara untuk bisa kabur.
Lyla baru mendapatkan kesempatan itu ketika ada beberapa murid yang sedang berkeliaran di lorong. Homer menghampiri murid-murid itu.
“Apa kalian tak diberitahu kalau kalian harus segera meninggalkan sekolah ini?” tanya Homer.
Murid-murid itu mendengus seperti meremehkan Homer, “Kami tahu semua yang terjadi di sini! Apa-apaan evakuasi itu? Kami tak ingin pergi.”
Simon yang kelihatan tak lebih sabar dari Homer ikut menghampiri murid-murid itu dan mengeluarkan lencananya, “Kami FBI, dan kami perintahkan kalian segera meninggalkan sekolah ini.”
“Omong kosong dengan FBI! Kami tak mau! Ini sekolah kami, dan aku mau ke kamarku sekarang!” seru seorang murid cewek yang berkulit pucat.
“Memangnya kalau kami tak mau menuruti perintah kalian, kalian akan menembak kami dengan pistol? Coba saja kalau berani!” ujar teman cowok cewek itu.
Simon yang geram sudah hampir mengeluarkan pistol dari sarungnya, “Baik!”
Homer segera menahannya, sambil memandang tajam pada murid-murid itu, “Jangan. Mereka hanya anak-anak. Tak tahu kalau disini sebentar lagi akan ada baku tembak dengan pelaku pembantaian yang mungkin saja takkan segan-segan menggunakan mereka sebagai sandera dan membunuh mereka dengan senang hati.”
Murid-murid itu melotot.
“Kami hanya memberitahu kalian untuk menyelamatkan diri kalian sendiri. Terserah apa yang kalian mau lakukan, asal jangan jadi sandera. Menyusahkan, dan mengingat kalian tak takut untuk ditembak oleh pistol, kami takkan pernah menganggap kalian sandera meskipun kepala kalian sudah dipegang oleh orang gila itu,” tambah Homer.
“Terlalu merepotkan untuk menyelamatkan kalian jika kalian kalian jadi sandera, jadi silahkan kalian lakukan yang kalian mau,” sahut Simon, “Kami tak peduli.”
Homer tersenyum sinis ketika murid-murid itu langsung kabur. Tapi Simon menghilangkan senyumnya ketika ia berkata dengan gusar.
“Hey! Mana Lyla William? Kemana gadis itu?”
Homer menoleh, “Kamu bercanda? Dia bersamamu kan?”
“Tadi! Tadi dia bersamaku! Tadi dia disitu!” seru Simon sambil menunjuk satu tempat.
“Lalu kemana dia sekarang?!”
“Buat apa dia kabur? Masa sih?”
Homer menatap temannya penuh kekesalan, “Aku tak mau memberitahu Bos, kau saja. Anak itu sangat pemarah.”
Simon menendang-nendang tanah, “Sekolah sialan!”
PS: Author ternyata masih belum rela ngasih tahu... kkkkk....

Lyla telah diberi tahu hal yang sebenarnya. Dia tak terlalu banyak merespon, mungkin karena masih shock atas kecelakaan yang menimpa Nick. Dylan memperketat penjagaan terhadap Lyla.
Ia sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya.
“Dylan...” panggil Seiji yang mengunjunginya.
“Hmm...” sahut Dylan pelan, tak melepaskan pandangannya dari monitor-monitor di hadapannya.
“Apa yang kau lakukan? Kau tak beranjak dari sana dari tadi.”
“Lihat saja dulu,” jawab Dylan. Ia menyalakan tombol-tombol di depannya. Kamera 9, aktif... kamera 10, aktif... kamera 11, aktif...
Seiji melihat Dylan menyalakan satu persatu monitor, “Kau... memasang kamera di seluruh sekolah?”
“Ya, setiap sudut tak akan ada yang terlewatkan satu pun. Aku mau tahu, tikus pembunuh itu bisa apa melawan teknologi...” ujar Dylan kelihatan antusias.
“Kau yakin ini bisa berhasil?”
“Mana ada orang yang menjadi kasat mata di depan kamera! Tentu saja aku yakin!” seru Dylan, kamera 21 aktif.... kamera 22 aktif... kamera 23..
Seiji terdiam. Ia akhirnya hanya melihat saja.
Suasana hening sampai sebuah monitor terlihat tak berfungsi dengan baik, hanya menunjukkan gambar yang rusak. Dylan merasa ada yang tak beres. Ia jongkok untuk memeriksa sambungan ke monitor itu. Tak ada masalah.
Seiji yang melihat gelagat Dylan yang gelisah akhirnya buka suara lagi, “Ada apa?”
“Kamera 47, lihat... tak ada gambarnya...” ucap Dylan.
“Mungkin rusak, kamera dimana itu?”
“Di kamar Lyla, coba hubungi tim yang berjaga disana,” suruh Dylan.
Seiji mengeluarkan komunikatornya, “Aku akan menghubungi Rifki. Dia sedang ada disana.”
Komunikator tersambung, suara Rifki langsung terdengar, “Rifki Mahatir, anggota 1 divisi mata-mata bertugas.... ada apa?”
“Seiji Amano, Ketua 1 Divisi Investigasi dan Penyelidikan disini.... Rifki, apa kau sedang berada di kamar Lyla?”
“Ya, kenapa?”
“Bagaimana situasinya?”
“Aman dan terkendali. Lyla sedang di kamar, tak ada masalah sejauh ini.”
“Tolong kau masuk ke kamar Lyla dan lihat di sudut dinding arah jam 3 dari ranjang ada kamera mini. Kamera itu tampaknya rusak, tolong kau periksa untukku.”
“Baik.”
Komunikator mati sementara. Tak lama, monitor nomor 47 pun memperlihatkan gambarnya. Terlihat Rifki yang sedang berusaha membetulkan kamera.
“Rifki, kamera sudah betul kembali, terima kasih,” ujar Seiji lewat komunikator.
Di gambar, Rifki mundur dan kamera memperlihatkan kamar Lyla. Kamar Lyla yang kosong.
Dylan merebut komunikator dari tangan Seiji, “Petugas Rifki Mahatir, kemana Lyla William?”
“Lyla William sedang menuju kamar kecil perempuan,” jelas Rifki, “Dua orang petugas diperintahkan menjaganya....”
Saat Dylan sedang sibuk mendengarkan keterangan dari Rifki, Seiji menyenggolnya.
“Dylan, lihat, sekarang kamera yang itu rusak,” tunjuk Seiji pada kamera di sebelah kamera yang sebelumnya sempat hilang gambarnya.
Dylan kaget, “Apa? Mengapa? Tadi masih benar.”
“Tadi kulihat gambarnya tiba-tiba rusak,” jelas Seiji.
Dylan lagi-lagi memeriksa segala kemungkinan teknis yang menyebabkan kamera tersebut rusak. Ia tak menemukan apa-apa.
Seiji yang masih mengawasi monitor menemukan sesuatu yang aneh, “Hei, kamera yang itu sudah betul lagi! Tapi... sekarang monitor sebelahnya yang rusak...”
Dylan tertegun. Ia teringat sesuatu. Jangan-jangan....
Buru-buru ia menyalakan komunikator, “Rifki! Sekarang cepat kamu menuju lorong sebelah kanan di belokan lorong kamar Lyla! Sekarang!”
Di kamera terlihat Rifki yang langsung melesat cepat menuju tempat yang diperintahkan Dylan.
“Sekarang belok kiri!” perintah Dylan begitu melihat kamera yang tadinya hilang gambarnya betul lagi dan memperlihatkan Rifki yang baru sampai ke tempat itu, namun giliran kamera sebelahnya yang rusak.
Rifki terlihat di monitor berlari menuju lorong yang direkam oleh kamera yang sedang rusak.
“Sekarang... katakan padaku, siapa yang kau lihat dari tempatmu berdiri?”
“Aku hanya melihat Lyla dan dua pengawalnya sedang menuju kamar mandi...” jawab Rifki dari komunikator, “Dan sekarang mereka berbelok ke lorong sebelah kanan.”
Begitu Rifki selesai bicara, kamera yang rusak kembali betul dan terlihat Rifki yang sedang terengah-engah karena habis berlari. Namun, kamera yang sebelahnya kini rusak.
Kok bisa? Tidak mungkin dia pembunuhnya! Pikir Dylan bingung, kecuali ada orang lain...
Dylan tercekat, orang lain? Orang itu?
©©©
“Jadi jelaskan maksudmu!” tanya Seiji penasaran, ia dan Rifki dikumpulkan di kamar Dylan, “Kau bilang kau sudah tahu pelakunya?”
Dylan tersenyum misterius, “Iya. Ternyata sejak awal aku sudah menangkap pelaku itu dengan tanganku sendiri...”
“Aku tak mengerti!” seru Seiji.
“Iya, ini cuma masalah teknologi. Harusnya aku lebih memperhatikan itu sejak awal, haha...” Dylan malah tertawa tak jelas.
Seiji geram, “Bocah! Katakan siapa pelakunya atau kubunuh kau!”
“Pelakunya yang memiliki sesuatu yang bisa mengacaukan gelombang kamera mini jarak jauh ku. Di tubuhnya menempel benda itu. Aku menyadarinya saat aku ingat kalau kamera mini yang kupasang di depan kamar Nicole juga rusak tiba-tiba dengan aneh saat pelakunya akan tertangkap kamera...”
“Jadi, dia menempelkan benda yang bisa mengacaukan gelombang sinyal kamera?”
Dylan menggeleng, “Bukan. Aku yang menempelkannya di tubuhnya.”
“Aku frustasi!” sergah Seiji semakin kesal, “Kau yang menempelkannya?! Buat apa kau menempelkan benda yang bisa mengacaukan penyelidikan pada tubuh seorang pembantai gila?! Benda apa pula itu?!”
“Benda itu adalah ini!” Dylan menunjukkan sebuah kertas tipis bening seukuran ujung jarinya dan mirip...
“Selotip?” tanya Seiji.
“Salah bodoh!” maki Dylan kesal, “Ini penemuan yang sangat fenomenal. Ini Stiker saraf. Ini menempel di tubuh seseorang dan memancarkan gelombang khusus yang bisa membuatku melacak keberadaannya dalam jarak tertentu. Gelombang ini juga yang menabrak gelombang kamera miniku dan menyebabkan gambarnya tak mau muncul. Selain itu juga, ini ditempelkan di tengkuk dan bisa menerima rangsangan syaraf-syaraf halus di kulit. Benda ini bereaksi kalau orang yang ditempeli benda ini sedang kesakitan atau sedang tegang. Jadi, benda ini tugasnya melindungi orang.”
“Jadi... siapa yang kau tempeli benda itu?”
“Lyla,” jawab Dylan singkat.
Seiji dan Rifki berpandangan. Mereka sama-sama berpikir satu hal, “Jadi... kau pikir kalau Lyla lah yang merusak gelombang kamera Nicole? Lyla lah pembunuhnya?”
“Aku juga berpikir begitu...” ucap Dylan kelihatan lesu, “...pada awalnya.”
Seiji dan Rifki yang sudah hampir kehabisan nafas langsung kesal, “Lalu siapa?”
“Saat itu Lyla sedang bersamaku sepanjang hari di perpustakaan, alibinya kuat tahu!” ujar Dylan, “Aku menyadari dan hampir melupakan satu orang lagi. Satu orang lagi yang kutempelkan stiker saraf ini. Aku benar-benar bodoh... aku tak memperhatikan hal yang sangat kecil di awal-awal kedatanganku di sekolah jelek ini. Dia orangnya Hanya dia yang bisa. Dia...”
©©©
Gals n Guys! Segini dulu ya! This time, aku cuma posting dikit, soalnya aku masih tak rela memberitahukan siapa pelakunya pada kalian... hehehe... *readers ngumpulin batu buat numpukin author*
Gak bakal lama kok, ntar kuposting lanjutannya. Tapi kayaknya kalian sudah bisa nebak siapa pelakunya. Siapa yang jeli dan baca dari awal sampai akhir trus memperhatikan hal-hal kecil di awal cerita pasti bisa nebak! Hayo, siapa??? Tebak, tebak, tebak!!! *authornya maksa banget*
Tapi buat yang dah tahu dan nebak... Ssssttt... hehehe...! gak seru kalau kalian ngasih tahu duluan. Satu kalimat kecil di awal cerita ini bisa bikin kalian tahu siapa pelakunya. Percaya deh.
Selamat penasaran dan menebak! Bye! *author kabur*

Wednesday, November 3, 2010


Keesokan paginya Lyla dan Nick sudah keluar pagi-pagi untuk menikmati udara Carlisle yang masih segar. Berbeda dengan London, Carlisle adalah satu dari sedikit tempat di Inggris yang masih lumayan bersih dari polusi. Apalagi pagi-pagi begini, siapapun yang keluar rumah, pikirannya pasti langsung fresh.
Termasuk Lyla dan Nick yang sedang menikmati hari libur mereka.
“Aah... segaar!” seru Lyla saking senangnya. Ia merentangkan tangannya dan berputar-putar kecil menghirup udara.
Nick hanya tertawa melihat tingkah Lyla. Ia selalu dibuat tersenyum oleh Lyla yang keras kepala meski sebenarnya masih kekanak-kanakkan. Ia memandangi Lyla, gadis itu sangat manis, cantik malah. Lyla tipe gadis asia yang polos dan memikat. Apalagi sekarang, ketika angin Carlisle membelai wajah dan rambut Lyla.
Lyla berjalan mundur menghadap Nick, “Sebelum ke pantai bagaimana kalau kita ke suatu tempat dulu?”
“Kemana?” tanya Nick heran.
“Aku mau bertemu dengan Paman baik hati yang ada di taman kota, pleaaaasee...” pinta Lyla sambil menangkupkan tangannya.
“Paman baik hati?”
“Ayo! Nanti kamu juga tau!” Lyla langsung menarik tangan Nick.
Mereka berdua naik bus menuju taman kota. Sesampainya disana Lyla berlari kesudut taman dimana seorang pria tua sedang duduk sambil memberi makan merpati-merpatinya.
“Paman Hans!” teriak Lyla dari kejauhan sambil melambaikan tangannya, “Pamaan...!”
Pria tua yang dipanggil Paman Hans itu menengok ke arah Lyla. Pada awalnya ia terlihat seperti pria tua yang seram dan galak, tapi begitu melihat siapa yang memanggilnya, senyumnya yang lebar menghapuskan kesan itu, “Ah, kau kah itu Lyla?”
Lyla menghambur ke arah Paman Hans dan memeluknya, “Pamaan... aku kangen..”
“Kau ini, jahat sekali padaku yang sudah tua ini, sudah berapa lama kau tak mengunjungiku nak?” tanya Paman Hans sambil memegang bahu Lyla dan memperlakukan Lyla dengan penuh kasih.
“Maaf Paman, di sekolah ada masalah, aku tak bisa sering-sering keluar...” jelas Lyla yang kemudian berpikir, oh ya... harusnya aku juga tak keluar kan sekarang?
Paman Hans kemudian memandang ke arah Nick dengan wajahnya yang galak kembali, “Siapa dia?”
Nick tersenyum ramah, “Saya Nick, temannya Lyla, paman...”
“Paman, paman, siapa yang kau panggil paman?! Seenaknya!” sergah Paman Hans ketus.
Nick menelan ludah. Ia memandangi Lyla.
“Ah, paman, dia ini Nick, temanku di sekolah,” ujar Lyla, “Dan Nick, ini Paman Hans, dia paman baik hati yang mengajarkanku memberi makan merpati. Paman adalah orang pertama yang akan kukunjungi kalau aku keluar sekolah.”
“Apa pekerjaanmu nak?” tanya Paman Hans dengan pandangan menyelidik.
“Pekerjaan?” ujar Nick heran.
“Paman, Nick kan masih sekolah, dia belum bekerja...” sahut Lyla berusaha membela Nick.
“Cih, di masaku anak muda seusianya harusnya sudah bekerja,” kata Paman Hans ketus, “Huh, bagaimana nasib masa depan sekarang kalau anak mudanya tak bekerja dengan giat, dan pemalas seperti ini...”
Nick melongo heran sementara Paman Hans terus mengomel.
“Sudahlah Paman, Nick juga pasti akan bekerja setelah lulus,” ujar Lyla yang melepas syalnya dan mengalungkannya ke leher Paman Hans, “Disini dingin, Paman harus pakai syal supaya lebih hangat...”
“Ah, kau begitu baik Lyla,” puji Paman Hans lalu memandang Nick sinis, “Sayang gadis sebaik dirimu bisa mendapatkan pemuda pengangguran seperti dia...”
“Paman, kami tak seperti yang paman bayangkan...”
“Kau harus bekerja yang mapan dulu baru bisa mendapatkan restuku, gaji yang besar, jabatan yang tinggi...” Paman Hans terus menceramahi Nick.
Nick cuma bisa merengut sambil membatin, Ya Ampun, Dylan pasti takkan butuh waktu lama mendapatkan restu dari orang ini.
©©©
Dylan sedang bersemedi di ruangan arsip-arsip ketika Seiji menemuinya sambil terengah-engah.
“Ada apa?” tanya Dylan yang tak melepas pandangan matanya dari arsip mengenai staf tukang bersih-bersih sekolah.
“Lyla tidak bersamamu?” Seiji malah balik bertanya.
Dylan mengangkat wajahnya, “Rifki?”
Seiji menggeleng, “Tidak. Dia tak melihat Lyla sama sekali hari ini. Katanya Lyla menghilang sejak pagi ini...”
Dylan mengusap wajahnya mulai terlihat seperti orang yang benar-benar frustasi, “Nick?”
“Sepertinya... Nick juga menghilang...”
Mau gak mau Dylan bangkit dari duduknya, “Dasar bocah itu!”
©©©
“Wah, mulai terasa panas disini...”
Nick melihat ke arah langit dimana matahari mulai berada di posisi terik-teriknya, “Yah... benar. Cuaca mulai panas...”
“Aku ingin sesuatu yang dingin...” gumam Lyla.
“Bagaimana kalau eskrim?” tawar Nick, “Ada toko es krim yang enak di seberang jalan sana? Kau mau?”
Lyla mengangguk semangat, “Mau!”
“Tunggu sebentar yah...” suruh Nick dan mulai meninggalkan Lyla.
Sementara itu, tak jauh dari mereka, sebuah mobil sedan berwarna perak terparkir. Di dalamnya ada seseorang yang sedari tadi memperhatikan mereka tanpa berkedip sedikitpun. Tangannya memegang setir dan kakinya sudah bersiap di pedal gas. Ketika ia melihat Nick sudah mulai menjauh dari Lyla, kakinya pun menekan pedal gas itu kuat-kuat. Arah mobil itu lurus, menuju Lyla yang sedang menunggu di pinggir jalan.
Lyla sedang menatap Nick yang berlari ke seberang jalan tanpa menyadari ada sebuah mobil yang berniat menabraknya. Nick menoleh untuk memberikan senyumnya, tapi dia merasa ada yang aneh. Perasaannya tak enak, ia menoleh ke samping...
“LYLA!!!!”
©©©
Dylan, Seiji dan Rifki keluar untuk mencari Lyla. Seiji ke Pusat Perbelanjaan, Rifki ke Stadion, dan Dylan ke pusat kota. Mereka mencari sampai siang hari dan nihil. Pada akhirnya mereka bertemu lagi di tempat yang dijanjikan, taman kota.
“Kemana lagi kita harus mencari?” tanya Rifki, “Aku tak menemukannya di antara penonton pertandingan...”
Seiji manggut-manggut. Dia setuju sama Rifki. Jika Rifki yang punya insting mata-mata tak bisa menemukan Lyla, apalagi dirinya dan Dylan.
Dylan cuma menelan ludah, ia juga bingung. Ia duduk sambil memandang ke sekeliling taman, berharap bisa menemukan Lyla. Yang ia temukan bukan Lyla, tapi seorang pria tua yang duduk di bangku sudut taman.
Dylan berdiri. Ia berjalan menuju pria tua itu.
“Ada apa?” tanya Seiji sambil mengikuti Dylan, Rifki juga ikut, “Kau menemukan Lyla?”
“Tidak,” ujar Dylan mempercepat langkahnya, “Tapi orang itu, dia mengenakan syalnya Lyla.”
Seiji dan Rifki yang kaget juga menuju pria itu.
“Permisi, sir, apa anda melihat gadis setinggi ini,” Dylan menunjuk pundaknya, “Berambut hitam sebahu, dan berwajah oriental?”
“Kau membicarakan Lyla?” tanya pria tua itu.
Seiji mengangguk semangat.
“Ya, sir, Lyla William! Kau melihatnya?” tanya Dylan was-was.
“Ada apa kau mencari-cari gadis kesayanganku itu?” tanya pria tua itu dengan curiga.
Gadis kesayangan? Kini Dylan yang mengernyit curiga.
Seiji mengambil alih pembicaraan, “Maaf sir, kami FBI! Ini lencana kami. Kami mencari Lyla William karena gadis itu sekarang sedang dalam perlindungan. Nyawanya sedang diincar, dan kami khawatir sekarang ia sedang dalam bahaya.”
Raut wajah pria tua itu berubah, “Oh tidak! Lyla...”
“Kami butuh keterangan dari anda, apa anda bertemu dengan Lyla hari ini?” tanya Rifki.
“Ya, nak! Hari ini dia datang dengan seorang pemuda yang namanya... euh... Ni.. Nick! Iya katanya namanya Nick!”
Nick? Berarti benar Lyla pergi bersama Nick! Ceroboh benar bocah itu! Gerutu Dylan dalam hati.
“Aku sudah curiga pada pemuda itu! Harusnya aku lebih lama mengomelinya tadi! Anak itu!...” Pria tua itu terus mengoceh lama sementara Dylan berpikir keras.
“Apa mereka bilang mereka akan pergi kemana?” tanya Seiji.
“Ah, mereka bilang akan jalan-jalan ke pantai. Tolong selamatkan Lyla, aku khawatir pemuda itu akan menenggelamkan Lyla ke laut... Oh...” Pria tua itu menjelaskan sambil mengungkapkan kekhawatirannya yang tidak-tidak.
Dylan, Seiji serta Rifki segera berlari ke mobil. Mereka memutuskan untuk bersama-sama menaiki mobil milik Seiji menuju pantai.
©©©
Sesampainya di pantai mereka mencari dengan panik. Dylan menyusuri sepanjang pesisir pantai, dan hasilnya nihil. Ia bertemu dengan Rifki dan Seiji di pintu masuk Pantai dengan wajah kesal dan kecewa luar biasa.
Dengan gontai mereka menuju parkiran mobil. Saat menyusuri jalan ia melihat orang-orang berekerumun di samping jalan. Dylan mencium ada yang tak beres. Ia berlari menuju kerumunan tersebut.
“Ada yang kecelakaan!”
“Ya Ampun lihat itu! Seram sekali...”
“Darahnya banyak sekali...”
Dylan semakin panik mendengarnya, tubuhnya langsung dingin. Lyla... tidak... jangan Lyla...
“Minggir! Minggir!” serunya berusaha menerobos kerumunan. Namun kerumunan itu semakin banyak saja dan ia terdorong-dorong.
Seiji yang membaca situasi menolong Dylan. Ia mengeluarkan lencananya, “FBI! Harap minggir semuanya! FBI!”
Seperti dikomando kerumunan itu membagi menjadi dua untuk memberi jalan bagi Dylan, Seiji dan Rifki.
Dylan langsung lemas melihat pemandangan di depannya. Jalan aspal ini sudah hampir memerah karena genangan darah. Ia langsung duduk dan memeluk gadis berbaju putih yang berlumuran darah dan gemetaran, “Syukurlah... syukurlah kau tak apa-apa...”
Seiji dan Rifki tercekat, “Nick!”
Disamping Lyla yang terduduk lemas, Nick terbaring dengan darah mengucur dari kepalanya.
“Bawa mobil kemari!” teriak Seiji melempar kunci mobilnya ke arah Rifki.
Rifki mengangguk paham, ia berlari menuju pelataran parkir dengan cepat. Sementara Seiji langsung mengangkat kepala Nick dan memeriksa denyut nadi dari lehernya.
“Meski lemah tapi denyut nadinya masih ada, hanya saja dia bisa kehabisan darah,” ujar Seiji sambil berdiri dan menyobek kaosnya. Ia membebat sobekan kaosnya itu ke kepala Nick, berusaha sebisa mungkin menutup luka di kepala Nick.
©©©
“Nick sudah dibawa ke rumah sakit lokal,” jelas Rifki, “Dia langsung masuk ruang ICU.”
Seiji yang baru pulang dari menyisir TKP menghembuskan nafas entah lega, entah berat. Lega, karena Nick mampu bertahan sampai tiba di rumah sakit. Berat, karena kondisi Nick masih tak menentu.
Dylan masih memandangi Lyla yang tertidur di kasurnya. Di sampingnya ada Gwen yang sedari tadi berusaha menenangkan Lyla yang gemetaran hebat.
“Kita kecolongan,” ujar Seiji kelihatan lelah, “Menurut saksi mata, yang menabrak Nick adalah mobil Chevrolet perak dengan kecepatan tinggi. Mobil itu melaju lurus ke arah Lyla yang kemudian diselamatkan oleh Nick, akibatnya Nick yang mendorong Lyla ke trotoar tertabrak mobil itu. Sebelumnya, saksi mata mendengar Nick berteriak. Setelah tertabrak, mobil itu langsung pergi begitu saja.”
“Ini bukan kasus tabrak lari,” ucap Dylan.
“Jelas bukan, saksi mata itu cerita padaku kalau kecepatan mobil itu sangat tinggi, dan arah lurus menuju Lyla, tanpa ragu. Dia sengaja mengincar Lyla,” ujar Seiji.
“Tapi yang terkena malah Nick yang dengan cepat mendorong Lyla dari terjangan mobil itu,” sahut Rifki.
Semua terdiam. Dylan masih saja memandangi Lyla yang tertidur meski sekali-kali menggigau.
“Dylan...” panggil Seiji.
“Hmm...”
“Sudahlah! Bawa pergi Lyla dari sekolah ini, kita jaga dia di markas saja. Kita akan menggunakan program perlindungan padanya. Setelah disana kita akan meminta bantuan atasan untuk menangani kasus ini,” pinta Seiji.
“Tidak,” jawab Dylan tegas, “Lyla tetap di sekolah ini!”
“Dylan!” sergah Seiji tak percaya.
Dylan mengalihkan tatapannya dari Lyla. Raut wajahnya mengeras, pandangannya tajam ke arah Seiji dan Rifki, seperti seseorang yang akan membuat suatu langkah besar, “Tambah daya listrik sekolah ini! Aku akan membuat pembunuh itu tak bisa bergerak sama sekali!!!”

Monday, September 27, 2010


©©©
Lyla masuk ke kamarnya dan melihat Gwen sedang mengobrol dengan Nick.
“Nick? Sedang apa kau disini?” tanya Lyla.
“Oh, aku akan menginap disini menggantikan Dylan,” jelas Nick.
“Lho? Memangnya Dylan kemana?”
Nick mengangkat bahu, “Entahlah. Tadi Seiji menghampiriku dan memintaku menggantikan Dylan dulu. Katanya Dylan sedang sibuk.”
Lyla manggut-manggut. Dalam hatinya ia sedikit kecewa, tapi ia berusaha menepis perasaan itu.
©©©
Dylan sedang di kamar Nick dan Rifki. Ia tidur di kasur Nick dengan punggung memunggungi Rifki. Rifki belum tidur. Ia masih melihat langit-langit kamar. Dylan juga sebenarnya belum tidur. Mana bisa ia tidur, sementara hatinya sedang kacau balau.
Rifki juga tahu Dylan belum tidur. Meski Dylan sudah menyembunyikannya sedemikian rupa, mengatur irama nafas, posisi tidur yang nyaman, juga tak bergerak dalam waktu yang cukup lama, tapi Rifki, seorang mata-mata yang diwajibkan waspada 24 jam sehari bisa mengetahuinya dengan mudah.
Tak ada suara diantara mereka, hanya hening. Kecanggungan karena sifat yang bersamaan, sama-sama dingin, membuat suasana kamar lebih dingin daripada es di kutub utara.
Rifki mengingat kejadian barusan. Ia tersenyum, teringat dirinya sendiri. Dylan mengalami hal yang hampir sama dengannya. Bedanya jika Dylan dimainkan oleh takdir, ia justru hampir kehilangan gadis yang ia cintai karena dirinya sendiri. Karena pekerjaannya sebagai mata-mata yang sangat berbahaya.
“Sebaiknya kau jangan lama-lama bersikap terlalu kekanak-kanakkan seperti ini...” ujar Rifki membuka percakapan.
Dylan tersadar tapi tak mau bicara. Ia masih bertahan dalam posisi pura-pura tidurnya.
“Aku juga pernah mengalami hal yang sama, hampir menyelakakan gadis yang aku cintai, dua kali. Ketika aku sadar, apapun itu masalahnya, aku menyesal karena tak menyadarinya lebih dulu,” tambah Rifki, ia tersenyum tipis melirik Dylan, “Kau juga kan. Apa kau lupa, Lyla masih tak tahu. Berpura-puralah tak terjadi apa-apa, maka semua akan baik-baik saja. Hal yang menyakitkan lupakan saja. Biar bagaimana pun, Lyla masih harus kau lindungi dan kau jaga. Jika kau berkonsentrasi pada masa lalumu, maka kau takkan siap menghadapi masa depanmu yang tak terduga.”
Dylan memejamkan matanya. Ia mendengar apa yang dikatakan oleh Rifki. Ia mencerna semuanya. Tapi hatinya masih terlalu sakit untuk menerimanya. Untuk pertama kalinya, ia benci kenyataan dan fakta.
©©©
Ada yang aneh pada sikap Dylan keesokan harinya di mata Lyla. Seharian ini ia tak bertemu dengan Dylan. Dylan bahkan tak masuk sekolah. Lyla sampai harus mengarang alasan sibuk untuk absensi Dylan. Gurunya percaya saja. Lagipula mungkin ia tak sekedar mengarang. Mungkin Dylan memang benar-benar sedang sibuk.
Maka ia mencari Dylan kemana-mana. Ke perpustakaan, tak ada, ke kamarnya Nick, tak ada, ke basenya Seiji juga tak ada. Lia sampai menyerah. Dan ia merasakan perutnya mulai berisik minta diisi.
Lia berjalan ke cafetaria, bareng Nick yang beralasan pengen ke tempat yang sama. Lia sebenarnya curiga pada Nick yang mengikutinya terus seperti stalker, Nick juga mengikutinya saat ia ke Perpustakaan, katanya ada buku yang harus dipinjam, ke kamar Nick, katanya ada barang yang ingin diambil, dia juga ikut Lyla ke basenya Seiji, katanya ada urusan. Karena seijinya gak ada, Nick ikut Lyla ke cafetaria. Lyla sebenarnya sih gak keberatan, tapi Nick pasti ada maksud lain kan?
Di cafetaria, Lyla menangkap sosok yang ia cari dari tadi sedang makan. Dia menghembuskan nafas kesal dan menghampirinya.
“Hei, kenapa tidak masuk tadi?” tanya Lyla yang langsung duduk disamping Dylan.
Dylan terlihat kaget. Ia menengok sebentar dan melanjutkan makannya tanpa bicara.
Seiji juga ada disitu, ia tersenyum menyapa Lyla, “Hai Lyla. Tadi Dylan sedang ada urusan penting denganku makanya dia tidak masuk dulu.”
“Aku sampai harus mengarang alasan didepan guru agar kau tidak dihukum, setidaknya bilang-bilang dulu!” omel Lyla.
Dylan tak menjawab. Ia menyelesaikan makannya dan buru-buru bangkit.
Lyla melihat Dylan sudah berdiri dan mau pergi, bingung. Ia menahan Dylan dengan memegangi ujung seragamnya, “Kau ini kenapa? Aku kan sedang bicara denganmu!”
Dylan menarik nafas berat, ia menatap Lyla sebentar dengan tatapan yang sulit dijelaskan, kemudian dengan dingin ia menepis tangan Lyla. Lalu pergi dari cafetaria.
Lyla terlihat bingung, ia menatap Nick yang mengangkat bahu kemudian beralih Seiji yang tersenyum canggung, “Ada apa dengannya sih?”
©©©
Dylan duduk sendirian di kamarnya. Ia membuka-buka buku yang dpinjamnya dari perpustakaan dulu saat berdua dengan Lyla. Buku alumni.
Dia sedang memandangi wajah ayahnya di buku alumni. Jika tidak tertera nama Jhonny McMillan dibawah foto ayahnya itu ia pasti sudah mengira kalau ia salah foto. Wajah yang ada di fotonya itu tidak mirip wajah Dad yang dikenalnya. Di foto itu Dad terlihat culun, berbeda dengan image keren yang Dylan tahu selama ini.
Ia teringat Mom berkata kalau Mom tergila-gila pada Dad saat kuliah. Mungkin saat itu Dad berubah menjadi orang keren, dari orang cupu yang ada di foto SMA-nya.
Kemudian kata-kata Rifki terngiang-ngiang di telinganya, Jika kau berkonsentrasi pada masa lalumu, maka kau takkan siap menghadapi masa depanmu yang tak terduga.
Dylan mendesah. Ia menjatuhkan bukunya ke kasur.
©©©
Sudah lewat tiga hari Dylan tak masuk sekolah. Lyla sebenarnya khawatir Dylan sakit, tapi Seiji meyakinkan kalau Dylan baik-baik saja hanya sibuk. Lyla menggerutu, sibuk apa sih dia?! Kan dia tetap murid sekolah ini, harusnya yang dipikirkannya cuma sekolah bukan kerjaan.
Sekarang Lyla curiga kalau Dylan sengaja menghindarinya. Setiap ia tak melihat latihan drama, Gwen bilang kalau Dylan datang ke latihan. Tapi saat ia ikut ngintip latihan drama, entah kenapa Dylan selalu tak datang.
Saat sibuk menggerutu dalam hati, seseorang menaruh buku-bukunya di bangku samping Lyla. Lyla tersentak kaget. Dylan?
Salah, rupanya yang duduk di bangku Dylan saat ini bukan Dylan, melainkan Larry.
“Ha... hai... ly... Lyla...” sapa Larry dengan terbata-bata dan tersenyum.
“Larry? Kenapa duduk disini?” tanya Lyla bingung.
“A.. aku disuruh pin... pindah oleh dy... Dylan...” jelas Larry.
Lyla menengok ke arah bangku Larry yang lama dan melihat cowok yang sedari tadi mengganggu pikirannya duduk disana. Ia merengut, benar kan dugaanku! Dia sengaja menghindariku, awas kau!
Lyla berdiri dan menghampiri Dylan. Seperti kemarin-kemarin, Dylan hanya menatap Lyla dingin kemudian mengacuhkan Lyla lagi.
Lyla mulai tak sabar, “Aku mau bicara.”
“Bicara saja,” ujar Dylan pelan.
“Kemana saja kau selama ini, tak masuk kelas...”
“Sibuk,” lagi-lagi Dylan menjawab singkat.
“Apa kesalahanku?” tanya Lyla tiba-tiba.
Dylan menatap Lyla lagi dengan ekspresi yang aneh. Sedikit terlihat kaget, tapi sisanya wajahnya begitu datar, “Salah apa?”
“Kesalahanku. Kamu sengaja menghindariku kan?” tanya Lyla lagi.
Dylan menunduk, membuka halaman buku yang dibacanya, “Tak ada.”
“Kalau begitu jawab, kenapa tiba-tiba kau suruh Nick menginap di kamarku? Kenapa kau suruh Larry pindah ke sampingku?”
Dylan tak ingin menjawabnya. Ia langsung berdiri berniat meninggalkan kelas. Tapi Lyla menahan ujung kemejanya.
“Jangan begini...” ujar Lyla pelan terlihat sangat sedih, “Aku lebih suka kamu memarahiku dan membentakku... apa kesalahanku begitu besar?”
Yang punya kesalahan besar itu aku Lyla, aku, Mom, dan Dad! Kesalahan kami terlalu besar sehingga membuatku tak sanggup menemuimu, batin Dylan. Dengan dingin Dylan menepis tangan Lyla, dan keluar dari kelas.
©©©
“Hai,” sapa Nick yang langsung duduk di samping bangku Lyla yang sedang makan siang di Cafetaria.
“Hai...” jawab Lyla lesu.
“Hari ini kamu ada acara?” tanya Nick.
Lyla mengingat-ingat, “Ehmm... sebentar lagi ada latihan drama. Aku harus datang untuk mengoreksi naskah...”
Nick langsung cemberut, “Yah, padahal aku ingin mengajakmu jalan-jalan...”
Jalan-jalan? Ah benar juga, kurasa aku perlu jalan-jalan untuk menyegarkan pikiranku sedikit. Aku tak bisa terus-menerus memikirkan Dylan si bodoh itu...
“Besok aku bebas. Aku juga ingin jalan-jalan. Kemana kamu akan mengajakku?” tanya Lyla antusias.
“Bagaimana kalau Carlisle Beach? Angin pantai di pagi hari akan enak sekali rasanya...” tawar Nick.
Lyla tersenyum senang dan mengangguk, “Boleh!”
©©©
Latihan drama berlangsung. Lyla datang ditemani oleh Nick. Mereka menonton pentas drama yang dimainkan, yang mengambil kisah Jack The Ripper. Pembunuh berantai dari London. Meski sudah direncanakan tema cerita itu dari jauh-jauh hari, sungguh ironis jika dimainkan sekarang oleh murid-murid Convinient High School yang terancam oleh pembunuh yang sama gilanya atau bahkan lebih gila dari Jack The Ripper.
Saat Lyla sedang asyik menelaah naskah, ia dikejutkan oleh kedatangan seorang cowok yang membawa banyak kertas-kertas arsip dan kelihatan lelah. Dylan.
“Ah... Dylan, nak, sungguh aku senang sekali kamu datang hari ini...” seru Mrs. Linda, “Kau tahu kan peranmu sebagai Inspektur Frans adalah peran utama? Kami tak bisa latihan tanpamu!”
“Ah ya... aku tahu...” sahut Dylan malas. Untuk sesaat pandangan matanya dan pandangan mata Lyla sempat bertemu. Tapi Lyla lebih dulu membuang muka. Dylan cuma bisa menghela nafas.
“Lihat ini. Hari ini akan banyak sekali scene-scene yang dilatih, semakin menumpuk jika kau tak datang...” Mrs. Linda menunjukkan script Dylan.
“Bagaimana kalau langsung kita mulai dan selesaikan semua ini?” tanya Dylan kesal. Ia benar-benar letih. Seharian ia habis diforsir kerja untuk mencari sedikit petunjuk mengenai kasus ini. Nihil.
“Baik... baik... Henry! Bersiaplah! Kita akan melatih scene 16!” teriak Mrs. Linda.
“Okay Mam...” sahut Henry yang berperan sebagai asistennya Inspektur Frans.
Latihan scene 16 dimulai. Dylan mengendurkan dasinya dan naik ke atas
Inspektur Frans alias Dylan mendekati mayat Elizabeth dan membungkuk untuk melihat lebih dekat. Henry yang berperan sebagai asistennya mengikuti Dylan.
“Jadi bagaimana, Sir? Apakah mungkin ini dilakukan oleh penjahat gila? Ini sudah mayat ke-tiga minggu ini...” ujar Henry.
“Gila, ya, tapi terpelajar,” sahut Dylan yang sudah menjelma menjadi inspektur Frans.
“Terpelajar? Penjahatnya adalah orang terpelajar?” tanya henry heran.
“Ya, lihat saja sayatan luka di perut ini. Begitu rapih, dan bahkan tak ada darah tercecer. Padahal dilihat dari waktu kematiannya, gadis ini dibunuh malam hari. Dan di tempat ini tak ada penerangan sedikitpun. Namun, penjahatnya begitu lihai menjahit luka ini tanpa kesalahan di tempat yang gelap seperti ini. Kemungkinan dia adalah seorang ahli bedah, paling tidak tukang jagal...” jelas Dylan cepat.
“Be... begitu... Jadi apa yang akan kau lakukan, sir?” tanya Henry yang tergagap dan berusaha mengimprovisasi dialognya sebisa mungkin. Kenapa? Karena Dylan tak mengikuti dialog di skrip sedikitpun.
“Kita harus membawa mayat ini ke bagian forensik. Jahitannya di perut, kemungkinan ada organ dalam mayat ini yang diambil. Kita harus segera memeriksanya,” jawab Dylan.
“Ba... baik...” Henry berpaling ke arah teman-temannya yang berperan sebagai para polisi London, “Kalian dengar itu? Cepat... ehm... bawa mayat ini ke bagian forensik dan... amankan TKP!”
“Baik!” sahut teman-temannya.
“CUT!” teriak Mrs. Linda, “Dylan kau sudah bagus, bagus sekali nak, dan Henry! Apa-apaan sikapmu yang kaku itu! Kau tidak bisa berakting jelek seperti itu! Pentasnya tinggal beberapa hari lagi!”
Henry melotot. Sementara Dylan cuma mendesah malas menanggapi pujian dari Mrs. Linda.
Henry yang kesal berjalan menuju Lyla dan Nick. Ia membanting naskah dialognya kemeja, sambil menggerutu, “Apa-apaan itu! Dia tidak mengikuti dialognya sedikitpun! Aku harus berimprovisasi mati-matian supaya nyambung!”
Lyla tertawa kecil, “Dia tidak mengikuti dialog. Dia hanya menyebut analisis yang dibacanya dari novel Jack The Ripper, dulu saat masih kecil.”
“Kalau saat pentas dia begitu lagi, aku akan mundur dari drama!” sergah Henry yang masih kesal setengah mati.
“Sabar...” bujuk Lyla.
“Kurasa kau perlu baca novel itu juga, Henry,” saran Nick yang tersenyum geli.
Henry cuman merengut kesal.
“Berikutnya scene 24! Gwen, bersiaplah!” teriak Mrs. Linda.
DEG! Lyla mencelos. Scene 24? Itu kan scene dimana Dylan dan Gwen...
“Uhm... Mam, bisa tidak kita melatih scene itu besok?” pinta Gwen yang sudah hafal naskah. Ia langsung merasa tak enak pada Lyla yang sedang menonton.
“Tidak bisa! Sekarang kita memanfaatkan waktu yang ada, mumpung Dylan sedang hadir hari ini...” tegas Mrs. Linda.
Gwen memandang Dylan tajam, cowok bodoh! Kau tak memikirkan perasaan Lyla apa?!
Dylan yang menyadari tatapan Gwen buru-buru membuka naskahnya untuk pertama kali. Scene 24? Scene yang mana? Ia mendelik begitu mendapati adegan di scene tersebut. Hahh?! Ini kan...
“Ayo mulai... mulai... cepat!” perintah Mrs. Linda.
Dylan naik ke atas panggung dengan pahit. Ia bisa memanfaatkan adegan ini agar Lyla menjauh darinya. Ia langsung menarik tangan Gwen agar segera juga naik panggung, memainkan adegan mereka.
Adegan dimana Inspektur Frans yang dimainkan Dylan, dan Mary Ann yang dimainkan Gwen, berciuman.
Latihan berlangsung. Lyla hanya bisa menonton adegan itu dengan mata nanar. Dia yang menulis adegan itu, dia juga yang meminta Dylan memerankannya, jadi meski hatinya terasa sakit sekali saat ini, dia harus menerimanya.
Nick menepuk bahu Lyla lembut. Lyla yang seolah baru tersadar dari hipnotis menengok ke arah Nick.
Nick sempat kaget melihat air mata Lyla yang keluar tiba-tiba, tapi ia berusaha tersenyum, “Kita pergi dari sini yuk?”
Dylan mengusap bibirnya. Ia melihat ke tempat Lyla, dan ternyata Lyla sudah tak ada. Baguslah... gumamnya dalam hati.
Sementara Gwen juga melakukan hal yang sama, tapi ia tak berani melihat ke arah Lyla. Gwen cuma jongkok dan mengusap mukanya frustasi, ah... dasar bego-bego-bego!